Mudik ke Turki

Sebulan lalu kami terbang ke Kota Samsum tempat leluhurnya Mr. Ottoman berasal. Mudik ke Turki ceritanya. Sebenernya kami mudik ke Turki karena ada satu urusan. Tadinya saya nggak mau ikut seperti tiga bulan lalu, Mr. Ottoman terbang sendirian ke Turki selama seminggu. Tapi dia ngejanjiin mau ngajak liburan ke Antalya selama seminggu. Tergodalah saya 😀 Tapi alasan lainnya karena diam-diam dia udah beli dua tiket ke Turki. Mau nggak mau ya harus mau.

Setiap tahun kami selalu liburan ke Turki, tapi nggak tiap tahun ke rumah makmer. Dua tahun sudah nggak kesana. Terakhir pulang ke Samsun tahun 2017, saat papa mertua sakit dan tragedi angkat pasir terjadi. Itu sebabnya saya agak trauma menginjakkan kaki disana lagi. Terlebih dulu-dulu setiap kali mudik ke Turki selalu saja terdengar bujuk rayu makmer supaya kami pindah ke Turki. Sekarang-sekarang udah nggak lagi sejak Turki mengalami krisis beberapa waktu lalu dan abang ipar saya yang di Turki sendiri ingin balik tinggal di Jerman karena katanya kehidupan di Turki saat ini semakin sulit. Kadang kerja kadang nggak.

Mudik ala orang Turki sebenarnya hampir sama dengan mudiknya orang Indonesia. Pulang ke kampung halaman, bertemu sanak keluarga dan teman-teman lama. Tapi Mr. Ottoman sendiri nggak punya feel rindu kampung halaman karena memang dia lahir dan besar di Jerman. Ini juga kalau nggak ada urusan dia malas ke Samsun.

Kalau di saya bedanya mudik ke Turki dan ke Indonesia itu jelas besar banget. Klo mudik ke Indonesia jauh-jauh hari sudah dipersiapkan, semakin dekat waktunya semakin nggak sabar dan ada rindu yang ingin dibuang begitu tiba di Indonesia. Pokoknya bahagia banget kalau mau mudik ke Indonesia. Di Indonesia juga semuanya murah meriah, nggak perlu masak klo malas. Tinggal tunjuk aja tuh makanan udah nyampek. Sewa mobil juga murah, sekarang juga udah banyak aplikasi kendaraan online. Serba gampang deh semuanya. Plusnya lagi mamak saya senang-senang aja klo diajak jalan-jalan dan makan diluar.

Mudik ke Turki ibaratnya masuk sekolah kehidupan yang 360 derajat berbeda dengan saya. Makmer selalu mengagung-agungkan style hidup hemat dan selalu diingetin harus nabung kek anak kecil. Harus makan di rumah karena kata makmer makan diluar itu mahal. Kami naik taksi aja diomelin, katanya mahal. Padahal cuma bayar 2 euro aja atau sekitar 35 ribu rupiah. Jadi kalau kami mau pergi-pergi harus cocokin waktu sama abang ipar. Ini yang saya nggak suka banget karena saya paling nggak suka bergantung sama orang lain. Mr. Ottoman juga nggak suka sebenarnya.

Memang boros itu nggak baik. Tapi coba deh tanya sama orang-orang yang mudik apalagi mudiknya jauh, pasti maunya senang-senang kan. Bukan berarti itu menghambur-hamburkan uang. Menurut saya itu adalah reward untuk diri sendiri yang di hari biasa capek ngerjain ini itu. Ada masanya kita membahagiakan diri sendiri dan Mr. Ottoman sepakat soal ini. Sayangnya nggak ada istilah reward untuk diri sendiri ini bagi makmer dan juga beberapa anggota keluarga lainnya. Padahal uang juga nggak dibawa mati.

Belum lagi makanan di rumah makmer itu banyak yang saya nggak suka karena menu masakan makmer itu ya masakannya orang Turki zaman old. Yang dimasak ya itu-itu aja, kurang bervariasi. Sedangkan banyak kok menu masakan Turki yang enak-enak. Tapi tetap klo di rumah makmer harus dilihat makanan itu berapa harga bahan-bahannya. Ini susahnya merubah mindset orang-orang Turki generasi sepuh. Klo sama mamak sendiri enak kan ngomongnya, lah sama makmer mana bisa begitu.

Di rumah makmer juga hampir tiap hari ada tamu. Sementara kadang kita butuh waktu sendiri dan males ada diantara orang-orang yang nggak kita kenal. Kadang ini yang buat saya kurang nyaman, saya nggak bebas.

Klo soal bantu-bantu kerjaan rumah itu ya wajar. Namanya juga di rumah mertua. Jangan harap bisa kek di rumah mamak sendiri yang bisa bilang nanti klo ada piring kotor ataupun disuruh beberes 😀 Di rumah mertua ya saat itu juga harus dikerjain.

Rumahnya makmer itu nggak di pusat kota. Jadi kotanya itu namanya Samsun, mereka tinggal di kota kecilnya namanya Carsamba. Dari Carsamba ke Samsun itu hampir satu jam. Dan yang paling saya nggak suka klo mudik ke Turki itu, saya nggak bisa pergi-pergi sendiri. Kendaraan umum di Carsamba juga nggak banyak. Cuma ada bus yang lewat setiap 15 menit sekali. Taksi ada juga sih, tapi lebih mantap di Medan lah ya. Ada angkot, becak, bus, taksi, semuanya ada dan gampang mau kemana-mana. Karena terbiasa hidup di kota besar yang aksesnya mudah kemana-mana, makanya saya nggak betah di Carsamba yang klo mau kemana-mana harus minta tolong abang ipar atau pergi sama Mr. Ottoman. Di Medan dan di Stuttgart saya kemana-mana sendiri sampe malam naik kendaraan umum juga nggak apa-apa. Jelas lah saya menolak diajak pindah ke Carsamba. Nggak kebayang gimana hidup saya disini.

Dan satu lagi, di Carsamba semua hunian penduduk itu berbentuk apartemen dan banyak bangunan setengah jadi. Jadi semua bangunannya bentuknya kotak-kotak. Klo mau lihat rumah ya harus ke pedesaan. Memang di Turki nggak ada aturan soal bangunan. Jadi banyak orang disana asal bangun aja, tapi nggak selesai. Beda sama Jerman yang ada aturan soal bangunan. Nggak ada bangunan yang nggak selesai dan terbengkalai.

Itulah kenapa saat akan mudik ke Turki saya nggak sumringah seperti saat akan mudik ke Indonesia. Dan sewaktu mau pulang ke Jerman, bahagianya luar biasa.

0



Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog