Mertua Oh Mertua || End Game

Hai readers, lama nggak update nih. Saya baru aja balik dari Turki, mengunjungi makmer sekaligus liburan ke Istanbul. Sebelum mudik ke Turki, saya dan Mr. Ottoman sudah melakukan pembicaraan serius mengenai hubungan saya dan mamanya. Bisa dibilang perang dingin diantara kami yang selama enam tahun ini tidak ada titik terangnya. Iya, saya sebut perang dingin karena kami tidak pernah bertengkar secara langsung (saya masih takut kualat 😀 )

Mungkin sudah berkali-kali saya tulis bahwa ada satu hal yang tidak bisa saya tuliskan disini tentang sakit hati mendalam akibat hal yang terjadi di masa lalu antara saya dan makmer yang menyebabkan segala hal kurang mengenakkan lainnya yang dilakukan makmer ke saya yang sebenarnya hanyalah hal remeh temeh soal perbedaan budaya menjadi masalah besar. Bukan besar dan menjadi ribut dengan makmer, tapi masalah antara saya dan Mr. Ottoman. Biar bagaimanapun makmer itu adalah mamanya dan saya adalah istrinya, perempuan yang dia pilih sendiri tanpa campur tangan keluarganya untuk menemani hidupnya.

Tujuh tahun pernikahan dan kejadian itu sudah terjadi enam tahun lalu. Pernah Mr. Ottoman bertanya, kenapa saya belum juga bisa lupa soal kejadian itu padahal sudah cukup lama karena dia tau saya bukanlah orang yang suka ambil pusing tentang apapun. Semua masalah saya anggap enteng dan hadapi dengan santai. Tapi masalah yang satu ini beda dan benar-benar sulit saya lupakan.

Mamak dan kakak-kakak saya di Indonesia, juga teman-teman pengajian di Jerman yang tau masalah ini juga sudah sering memberikan masukan untuk tidak mengungkit-ungkit masalah itu. Tapi saya masih butuh waktu untuk ikhlas.

Mr. Ottoman sendiri nggak pernah ngotot membela mamanya. Dia hanya meminta saya menghormati mamanya untuk dia. Dia bilang, saya tidak perlu menyayangi mamanya jika saya tidak mampu. Dia sendiri sudah meminta mamanya untuk berubah, tidak memaksakan apa yang mamanya mau ke saya seperti tragedi angkat pasir dulu dan juga nggak banyak tanya-tanya saya soal ini itu karena memang saya itu kurang suka dikepo-in soal kehidupan pribadi saya. Lebih tepatnya saya kurang suka terlalu diperhatikan. I mean, mama-mama Turki itu memang umumnya serba mau tau setiap detail kehidupan anak-anaknya. Sementara saya punya mamak yang sadar betul bahwa jika anak sudah berumahtangga, tidak semua hal orangtua harus tau. Jelas dalam hal ini mamak saya dan makmer itu jauh berbeda.

Sebenarnya setiap tahun saya selalu ke Turki, tapi nggak selalu ke rumah mertua. Sudah setahun saya nggak ketemu makmer dan dua tahun nggak ke rumah makmer di Kota Samsun. Saya anggap ini end game dari perang dingin antara saya dan makmer. Saya bilang ke Mr. Ottoman, kalau kali ini mamanya maksa-maksa saya ngelakuin hal-hal yang nggak saya suka dan berulah aneh-aneh, ini terakhir kalinya saya ke rumah makmer. Mr. Ottoman paham betul kalau saya nggak pernah main-main dengan perkataan saya.

Mr. Ottoman juga meminta saya melakukan hal yang sama. Katanya saya juga harus berubah dan menurunkan ego. Dia bilang, terkadang untuk membuat orang lain berubah itu kita sendiri yang harus berubah terlebih dahulu. Saya setujui permintaannya.

Akhirnya kami mudik juga ke Samsun. Singkat cerita beberapa hari di Samsun saya lihat makmer memang berubah. Dia nggak seperti dulu, banyak nanya hal-hal yang sangat pribadi.

Perubahan makmer itu bisa dikatakan adalah hal yang ajaib untuk mama-mama Turki usia senja plus penganut kultur turki kuno yang kuat. Ini pertama kalinya selama tujuh tahun saya nggak ngomel-ngomel ke Mr. Ottoman soal kelakuan mamanya.

Setelah saya pikir-pikir memang sudah saatnya saya berdamai dengan takdir, memaafkan hal yang tersulit saya maafkan. Makmer sendiri sudah berubah. Lagian bukan tidak ada hal-hal baik dari makmer. Di mata orang-orang sekitarnya, dia orang yang baik dan suka berbagi. Saya juga nggak harus bangun pagi-pagi banget di rumah makmer. Musim panas gini subuh itu cepet banget. Jadi biasanya habis solat subuh kami tidur lagi sampe jam 9-10 pagi. Makmer memang nggak pernah komplain sih soal bangun siang ini dari dulu.

Pastinya makmer nggak mungkin bisa berubah 100%. Contohnya dia selalu protes saat kami kemana-mana naik taxi dan makan di restoran, padahal harga di Turki itu jauh lebih murah dibandingkan Jerman. Menurutnya itu buang-buang duit.

Perubahan lainnya, makmer sekarang ketuk pintu dulu sebelum masuk ke kamar kami. Nggak seperti dulu yang main masuk nyelonong aja tanpa permisi. Banyak hal yang berubah dari makmer, walaupun banyak yang nggak bisa dirubah.

Sekarang ini keluarga Mr. Ottoman lagi bangun villa di kampung mereka. Nggak terlalu jauh sih dari rumah makmer. Juga deket banget sama makam papa mertua. Sebenernya rumah itu adalah rumah kakeknya Mr. Ottoman dari papanya. Rumah itu sudah lama kosong dan nggak ada yang mau nempati. Lahannya cukup luas dan berbatasan langsung dengan sungai. Ada banyak pohon apel dan pir dipekarangannya. Singkatnya sekarang lagi dibangun untuk rumah liburan.

Apa hubungannya dengan perubahan makmer? Ada banget hubungannya. Jadi istrinya abang ipar saya yang tinggal di Turki itu juga ikut bantu nyelesain villa itu. Ukurannya nggak besar sih, tapi ya tetap butuh waktu. Bayangin aja, kakak ipar saya naik keatas untuk masang genteng. Tapi kali ini makmer nggak nyuruh saya ikut kerja seperti yang udah-udah. Bahkan anaknya sendiri (Mr. Ottoman) juga nggak disuruh. Ini ajaib banget. Makmer yang biasanya selalu ada aja yang mau dikerjain saat anak-anaknya mudik ke Turki, kali ini adem ayem aja nggak rempong.

Nggak tau ada apa dibalik semua ini. Tapi saya memang pernah bilang ke Mr. Ottoman kalau saya nggak ngerti kenapa setiap mudik ke Turki berasa jadi kuli. Ada aja yang dikerjain. Padahal kan tujuan kita itu liburan, lagian kita udah kasi uang untuk bayar ini itu. Klo udah bayar ngapain masih harus ngerjain sendiri yang endingnya jadi motong waktu jalan-jalan kami. Mungkin Mr. Ottoman juga ngomongin soal ini ke mamanya. Makanya makmer kali ini nggak sibuk nyuruh kami jadi kuli bangunan 😀

Ini adalah end game yang membahagiakan dari perang dingin diantara kami. Tentu semua ini nggak akan terjadi tanpa peran dan kesabaran Mr. Ottoman yang mampu berdiri diantara dua wanita yang dia cintai, bagaimana dia tidak membela siapapun diantara kami.

Punya mertua sesuku dan senegara aja juga masih sering bermasalah, apalagi punya mertua beda negara yang mana negaranya juga kaya budaya seperti negara kita Indonesia. Apapun yang telah terjadi dan cukup melukai perasaan saya, berdamai dengan mertua adalah jalan terbaik untuk rumahtangga saya dan Mr. Ottoman. Memaafkan itu memang sulit, tapi memaafkan itu lebih baik dari meminta maaf.

0



Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog