Unplanning Trip ke Kota Padang

Throwback liburan ke Padang dua tahun lalu, bertepatan dengan tahun baru. Perjalanan ke Padang sebenarnya diluar rencana. Setelah selesai trip Pulau Mursala, kami belum ada rencana pasti mau kemana. Akhirnya kami putuskan ke Kota Padang.

Tiba di Bandara Minangkabau hari sudah sore. Kami masih belum tau mau kemana dan menginap dimana. Sambil mikir-mikir mau kemana, kami makan di restoran kecil bandara karena Bandara Minangkabau sendiri ukurannya juga tidak besar. Akhirnya kami putuskan ke Lembah Harau.

Sebelumnya saya sudah kontak salah satu penginapan di Lembah Harau. Tapi tidak untuk hari ini. Setelah saya hubungi, akhirnya dia membantu mencarikan penginapan untuk kami di Lembah Harau. Direkomendasikanlah penginapan milik temannya dengan harga 300 ribu per malamnya.

Mobil kijang innova yang akan membawa kami ke Lembah Harau masih harus menunggu beberapa sewa yang membuat perjalanan tertunda sampai malam. Perjalanan dari bandara menuju Lembah Harau memakan waktu tiga jam. Kami tiba disana jam 11 malam dengan disambut hujan lebat. Untung saja pak supirnya baik. Awalnya kami susah menemukan penginapan itu. Muter-muter ngelewatin air terjunnya nggak ketemu juga. Akhirnya yang punya nunggu dipinggir jalan.

Mr. Ottoman ngomel sejadi-jadinya melihat keadaan kamar kami. Kamarnya berbentuk satuan, tidak gabung satu bangunan. Atapnya bocor, tempat tidur dan sepreinya kotor seperti tidak diganti. WC nya juga bau dan airnya tidak jalan. Kamar mandinya saat itu seperti lama tidak dipakai. Ada bau yang tidak sedap. Banyak sarang laba-laba dimana-mana.

Karena tidak ada pilihan, terpaksa malam itu kami bertahan disana. Saya sih bisa-bisa aja tidur dengan keadaan begitu. Sepreinya saya ganti pake baju-baju kami. Tapi air hujan tetap masuk kedalam. Belum lagi monyet-monyet berkumpul diatas atap kami dan membuat keributan. Fix! Semua itu membuat Mr. Ottoman sama sekali nggak tidur.

Huft! Bayang-bayang saya tentang liburan indah di Lembah Harau pun sirna. Mood Mr. Ottoman rusak serusak-rusaknya. Dia suruh saya telpon supir mobil yang kemarin untuk jemput kami. Katanya dia sewa itu mobil sendirian. Nggak usah ada penumpang lain. Dia mau ke Kota Padang aja.

Pak supir kami ini mukanya serem kek preman. Eh ternyata dia baik banget lho. Sayang nomor hpnya hilang. Dia kemarin sempat bilang ke saya, kenapa nginap disitu. Tempatnya kurang bagus. Tapi berhubung udah terlanjur minta dicariin, ya mau nggak mau diambil aja untuk semalam. Eh…nggak taunya bawa sial.

Sebelumnya Mr. Ottoman udah booking penginapan di salah satu villa di Kota Padang. Tapi kami cuma sewa satu kamarnya aja, nggak keseluruhannya. Dan ternyata yang punya itu orang Jerman, pacarnya orang lokal. Jadilah dia akrab banget sama Mr. Ottoman sampe curhat-curhatan segala soal hubungan asmaranya sama si cewek Padang.

Lokasinya strategis banget, dekat Pantai Nirwana. Juga dekat ke tujuan-tujuan wisata lainnya. As always, sebagai slow traveller kami nggak ada target harus kemana aja. Yang penting buat Mr. Ottoman itu tempatnya dekat pantai dan kapan aja bisa ke Pantai.

Dari villa ke Pantai Nirwana cuma lima menitan jalan kaki. Tapi pantai ini nggak seperti pantai di Sabang yang airnya biru tosca dan bersih. Pantai Nirwana airnya nggak terlalu biru dan disini juga nggak terlihat bule-bule berjemur. Lebih banyak turis lokal. Sepertinya tempat ini lebih ke tempat nongkrong-nongkrong karena disepanjang pinggiran pantai penuh dengan warung tenda yang jualan macem-macem. Minusnya lagi di ujung pantai ini dijadikan tempat pembuangan sampah. Jadi baunya menyebar dan bikin rusak pemandangan.

Pantai Nirwana

Jalan kaki lagi 15 menit dari villa, ada Jembatan Siti Nurbaya yang melegenda itu. Jembatan ini terbentang diatas Sungai Batang Arau. Menjelang sore banyak penjual jagung dan pisang bakar disini. Semakin malam suasananya semakin cantik dengan kerlap-kerlip lampu.

Dari jembatan ini pula terlihat sebuah bukit yang konon kabarnya merupakan makamnya Siti Nurbaya. Daerah disekitar jembatan mampu membawa imajinasi saya ke masa-masa dimana seorang wanita yang tak mampu menentang takdirnya itu masih hidup. Bangunan-bangunannya identik dengan bangunan tua.

Kalau udah nyampe Jembatan Siti Nurbaya, jangan lupa beli oleh-oleh khas Padang Keripik Cristine Hakim. Lokasinya nggak jauh dari jembatan ini. Nggak susah kok nyarinya karena tulisannya besar.

Hari ketiga di Padang bertepatan dengan jum’at terakhir 2016. Mr. Ottoman rencananya mau solat jum’at di Mesjid Raya Sumatera Barat yang ada di Jalan Khatib Sulaiman, Padang Utara. Untuk sampai kesana kami naik taxi dari villa. Jaraknya nggak terlalu jauh. Klo nggak salah waktu itu bayar taxi nggak sampe 50 ribu. Saat itu masih dalam proses pembangunan. Padahal mesjid ini sudah mulai dibangun sejak tahun 2007, tapi belum juga selesai di akhir tahun 2016.

Katanya hari itu adalah hari perdana Mesjid Raya Sumatera Barat digunakan untuk solat jum’at. Nyampe disana saya takjub sekali melihat arsitekturnya walaupun belum jadi. Kubahnya berbentuk kubah rumah adat minang dengan detail seperti batik atau songket gitu. Saat kami datang udah banyak orang disana yang nggak cuma mau solat jum’at.

Udah rame orang ngumpul mau solat, eh nggak taunya nggak jadi solat perdananya. Akhirnya semua orang pada pindah ke mesjid kecil di jalan sebelah mesjid. Saya nungguin Mr. Ottoman solat sambil jagain jualan abang-abang rujak dan tukang es yang juga mau solat. Tau aja nih abang-abang klo saya mantan pedagang 😀

Mesjid Raya Sumatera Barat

Selesai solat kami lanjut ke Museum Adityawarman yang ada di Jl. Diponegoro No. 10. Lokasinya nggak jauh dari Mesjid Raya. Tiket masuknya juga murah meriah, cuma 2000 rupiah untuk orang dewasa dan 1000 rupiah untuk anak-anak. Dan nggak ada perbedaan harga antara bule dan turis lokal. Museum ini pastinya berisi hal-hal yang berhubungan dengan budaya Padang.

Museum Adityawarman

Selesai melihat koleksi Museum Adityawarman, kami jalan kedepan gerbang museum. Disini ada Monumen Tsunami yang dibangun pada tahun 2010, setahun setelah bencana tsunami mengguncang Padang. Di monumen ini juga tertulis puisi sedih karangan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Nggak ada pungutan biaya untuk mengunjungi monumen ini.

Monumen gempa dan tsunami

Selesai dari sini kami pergi ke Plaza Andalas di pusat kota untuk cari makan karena kemaren Mr. Ottoman sakit perut setelah makan makanan pinggir jalan Pantai Nirwana. Susah memang klo orang nggak biasa makan sembarangan kek saya yang makan apa aja ok dan nggak pernah sakit perut 😀

Didekat Plaza Andalas ini juga ada Pantai Padang. Tapi kami nggak kesana, cuma lewat aja dan sebenarnya Pantai Padang ini segaris lurus sama Pantai Nirwana.

Empat hari di Padang perjalanan kami benar-benar santai. Bahkan malam tahun baru aja kami nggak ngapa-ngapain dan malah ketiduran lebih awal. Setiap hari selama di Padang pasti kami ke pantai karena sunset di Pantai Nirwana ini benar-benar indah. Bahkan ke lokasi batu Malin Kundang aja nggak. Padahal lokasinya juga nggak begitu jauh dari villa. Bagi yang mau kesana, di lokasi Pantai Air Manis tempat batu Malin Kundang berada kamu bisa berselancar disini. Uniknya disini ada namanya Pulau Pisang yang hanya muncul jika air laut surut. Sayang banget sih waktu itu kami nggak kesana.

Segitu aja sih cerita liburan kami di Padang. Over all Padang itu kotanya bersih, jalannya mulus nggak bolong-bolong kek di Medan dan nggak ada macetnya. Mr. Ottoman aja jatuh cinta sama Kota Padang. Selain itu dia juga salut ngeliat bangunan-bangunan diseluruh penjuru Padang yang tetap mempertahankan budaya lokal. Seperti bangunan gedung-gedung pemerintahan yang atapnya tetap menggunakan atap bentuk rumah adat Padang. Suatu hari nanti kami berencana kembali lagi ke Padang.

0



Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog