Melanjutkan artikel sebelumnya tentang perbedaan wanita Turki dan Indonesia, kali ini saya mau bahas dari sisi lainnya lagi dan juga pandangan Mr. Ottoman tentang wanita Turki.
Di artikel “MERTUA OH MERTUA” saya sempat bahas soal tragedi angkat pasir di bulan puasa saat kami mudik ke Turki. Nah ternyata bagi wanita Turki hal semacam itu adalah hal yang wajar. Tidak ada perbedaan apakah itu pekerjaan laki-laki ataupun perempuan. Sementara di keluarga asal saya, saya nggak pernah melihat kaum wanitanya melakukan pekerjaan semacam itu. Laki-laki di keluarga saya tidak membiarkan kami para wanita melakukakn pekerjaan berat.
Wanita Turki itu kuat-kuat. Jadi, mereka terbiasa melakukan banyak hal termasuk hal-hal yang menurut kita orang Indonesia adalah pekerjaan laki-laki. Mungkin itu juga sebabnya mamer saya menganggap wajar saat dia menyuruh saya angkat pasir waktu itu.
Mereka melakukan itu juga tanpa paksaan. Sama seperti soal “hobi” bebersih mereka yang udah tingkat akut, soal pekerjaan berat juga muncul dari hati nurani mereka masing-masing. Tidak ada yang memaksa.
Sering kami belanja bersama ke supermarket Turki didekat tempat kami tinggal. Disana nggak cuma ada supermarket, tapi juga aneka pertokoan dan tempat makan yang semuanya bernuansa Turki. Jadi tempat ini itu banyak dipenuhi orang Turki, walaupun banyak juga bangsa lain yang datang kesini.
Tidak jarang saya melihat para wanita antri makanan sementara laki-lakinya duduk manis di meja makan. Tapi itu tidak berlaku bagi kami dan saya juga nggak mau begitu. Tapi sepertinya hal itu nggak masalah bagi wanita-wanita Turki. Mereka terbiasa repot dan hidupnya nggak pernah santai. Juga saat belanja, kebanyakan wanita Turki itu bawa barang belanjaannya sendiri walaupun mereka pergi sama suaminya. Untungnya saya udah biasain Mr. Ottoman nggak seperti itu. Kecuali kami belanja banyak yang nggak bisa dia bawa sendiri. Jadi kami bagi-bagi, saya bawa yang ringan dan Mr. Ottoman yang berat.
Lagi-lagi, hal semacam itu bukan kemauan suaminya. Tapi para wanita Turki itu memang terbiasa begitu yang pada akhirnya membiasakan laki-laki mereka untuk tidak memanjakan mereka. Bahkan kadang laki-laki Turki jadi merasa malu melakukan hal demikian.
Menurut saya ini hanya soal kebiasaan dan bisa berubah, mengingat kebanyakan laki-laki Turki itu hidup terbawa arus si wanitanya. Minusnya itu para wanita Turki yang super strong ini menurunkan kemanjaan-kemanjaan itu pada anak lelakinya. Kebanyakan mereka memperlakukan anak lelakinya seperti raja dan nggak boleh melakukan pekerjaan rumahtangga yang akhirnya akan menjadi masalah jika si anak menikahi yabanci alias orang asing seperti saya. Butuh proses yang tidak bisa dibilang gampang untuk mengubah pola pikir ini karena hal itu sudah tertanam sejak bayi.
Kakak ipar saya pernah bilang, “Kamu udah kek ratu ya, dimanjain banget.” Padahal itu semua adalah hal yang biasa bagi kita di Indonesia seperti dibawain barang belanjaan dan laki-laki yang antri makanan di restoran.
Untuk urusan pernikahan, wanita Turki kebanyakan maunya yang sempurna banget. Pesta besar-besaran sampe ada yang jual rumah cuma buat pesta. Mungkin di Indonesia juga banyak sih yang begini, pesta besar-besaran padahal nggak cukup modal.
Di Jerman itu minimal klo orang Turki pesta menghabiskan dana 20.000 euro. Kalikan aja deh ya sendiri berapa rupiah. Waktu keponakan Mr. Ottoman pesta februari lalu, sewa gedungnya aja 5000 euro. Itupun bukan di hotel, cuma tempat biasa yang bisa nampung kira-kira 1000-2000 orang. Belum lagi bajunya yang juga ribuan euro dan lain-lainnya lagi. Ini untuk hitungan pesta orang biasa, bukan konglomerat.
Umumnya ibu-ibu Turki yang ngotot minta pesta besar-besaran, juga calon pengantin wanitanya. Hal semacam itu seperti harga diri bagi mereka. Begitu juga saat menghadiri acara pernikahan. Wanita-wanita Turki pasti sibuk beli baju,sepatu, tas baru, menunjukkan perhiasan mereka, dandanan yang wah. Pokoknya jangan sampai keliatan miskin.
Saya pernah ditegur kakak ipar karena tidak memakai perhiasan emas sama sekali. Memang saya dasarnya nggak suka pakai perhiasan emas dan saya kurang nyaman dengan itu. Mereka pikir perhiasan pemberian Mr. Ottoman saat menikah dulu sudah saya jual karena tidak pernah kelihatan dipakai. Tapi saya cuek aja. Saya nggak mau mengikuti kebiasaan yang membuat saya tidak nyaman. Dan bagi saya tidak penting perkiraan wanita-wanita Turki itu tentang saya, apakah saya kekurangan perhiasan atau tidak.
Mr. Ottoman pernah bilang, orang Turki itu nggak apa-apa rumah nyewa yang penting pesta nikahannya mewah. Beda sama orang Jerman yang jarang banget pesta besar-besaran tapi mereka kebanyakan investasi ke rumah. Itu salah satu hal yang nggak cocok buat dia dan ini juga kecocokan diantara kami. Saya juga nggak suka pesta besar-besaran.
Menurut Mr. Ottoman, wanita Turki itu gengsinya tinggi. Bukan cuma soal pesta pernikahan, tapi juga urusan perabotan rumah. Nggak semuanya sih, tapi rata-rata yang saya lihat disekitar saya begitu. Mungkin karena mereka suka saling mengunjungi, jadi harus sering gonta-ganti perabot dan pernak-pernik agar terlihat ‘wah’.
Wanita Turki itu sifatnya keras. Mungkin ini memang keturunan yang bukan saja ada di kaum wanitanya, tapi juga laki-lakinya. Makanya Mr. Ottoman merasa kurang nyaman dengan itu. Berbanding terbalik dengan kebanyakan wanita Indonesia. Menurut si mister, wanita Indonesia itu kebanyakan humoris, suka tertawa dan ceria seolah hidupnya tidak ada beban. Siapa yang nggak bahagia coba, pulang kerja disambut hangat dengan tawa riang istrinya.
Beda dengan wanita Turki. Mereka memang mengurusi suaminya dan jangan ditanya lagi soal dapur dan masak memasak. Memang kebanyakan waktu mereka ya di dapur. Tapi yang saya maksud disini adalah soal pelayanan. Misalnya saja saat suami pulang kerja, saya terbiasa menyambut suami saya didepan pintu. Saya tanya apa kabarnya, saya ambil tasnya dan kadang saya bukakan jaketnya. Sementara wanita Turki tidak seperti itu. Suami pulang ya biasa aja karena mereka sibuk didapur dan bebersih. Tidak ada penyambutan.
Juga untuk urusan makan. Saat tidak makan bersama, mereka cukup menghidangkan makanan untuk suaminya saja. Tidak menemani suaminya makan. Pun soal lauk pauk. Saya kurang paham soal adat ini diseluruh Indonesia. Yang saya tahu, baik di adat batak maupun Jawa (karena keluarga saya bersuku ini), seorang suami/ayah itu harus diberikan tempat lauk makan yang berbeda dan tersendiri. Tidak boleh disisa-sisain. Kata mamak saya itu pantang dan tidak hormat. Makanya saya heran saat melihat di keluarga Mr. Ottoman, suami-suaminya tidak diberikan tempat khusus.
Masih banyak lagi sih perbedaan-perbedaannya. Klo kata Mr. Ottoman, wanita Indonesia memang kalah soal bersih-bersih rumah tapi wanita Indonesia itu punya banyak kelebihan lain. Misalnya saja lebih bisa tahan emosi sama suaminya, lebih sabar dan ikhlas, lemah lembut dan merendahkan diri dihadapan suaminya.
Insyaallah next time klo nemu lagi perbedaan-perbedaannya akan saya tuliskan lagi.