Katanya seorang wanita belum sempurna jika belum mengandung dan melahirkan anaknya sendiri. Kalimat ini tepatnya lebih sering saya dengar dari mulut-mulut orang Indonesia. Tekanan sosial bagi wanita yang belum memiliki keturunan di Indonesia tergolong ekstrim. Bukannya memberikan support serta doa baik yang menguatkan, rata-rata masyarakat Indonesia yang pikirannya masih belum terbuka justru menyudutkan wanita yang belum juga diberikan keturunan.
Mirisnya hanya wanita yang selalu disalahkan seolah kehamilan itu bisa terjadi tanpa bantuan pria. Hal ini lantas dijadikan alasan oleh kebanyakan pria untuk mencari wanita lain yang dianggapnya bisa memberikan keturunan.
Beberapa tahun belakangan saya sudah berhenti untuk kepo dengan urusan pribadi orang. Saya berhenti menanyakan kapan nikah, kapan punya anak ataupun minta dibelikan oleh-oleh dan ditraktir. Saya sadar, pertanyaan-pertanyaan yang tampak biasa dan sudah sering ditanyakan itu bisa mengoyak perasaan seseorang yang dampaknya bisa sampai ke tahap depresi.
“Ah…dia aja yang nggak kuat iman. Baru ditanya gitu doank.”
Selanjutnya akan muncul pula kalimat seperti kalimat diatas. Banyak sekali orang yang kurang peka terhadap perasaan orang lain. Mereka lupa bahwa lidah itu lebih berbahaya dari pedang tajam.
Bagaimana dengan saya yang kini sudah memasuki tahun keenam pernikahan namun tak kunjung hamil lagi?
Bagi saya tak masalah saat ditanya keluarga dan sahabat-sahabat terdekat soal kehamilan karena saya tau mereka benar-benar perduli dan bukan sekedar kepo. Tapi saya sangat tidak nyaman jika ditanya oleh teman jauh yang jarang bertemu dan komunikasi. Orang seperti ini biasanya bisa muncul tiba-tiba, tiba-tiba chat di facebook dan tanpa basa basi langsung tanya sudah punya anak berapa. Bahkan ada juga yang terang-terangan bertanya di kolom komentar. Bagi saya itu tidak etis karena menyangkut masalah pribadi saya. Lagian saya bukan artis atau orang terkenal yang kehidupannya perlu dikorek-korek.
Alhamdulillah saya punya suami yang tidak banyak menuntut soal anak dan cukup paham tentang persoalan kenapa istrinya belum juga hamil. Apalagi kami sudah pernah punya anak yang artinya kami tidak mandul.
Saya selalu rutin check up ke dokter spesialis wanita dan selalu diantar Mr. Ottoman. Otomatis dia tau kondisi saya yang tidak pernah ada masalah dengan rahim dan sebagainya. Sempat Mr. Ottoman berucap, mungkin saja dia yang bermasalah karena dia tidak pernah check up masalah reproduksinya.
Kami berdua sebenarnya santai untuk masalah anak dan sangat menikmati masa-masa berdua ini. Pernah ada beberapa orang teman di Indonesia bertanya apakah kami tidak bosan hanya berdua setiap hari, apalagi Mr. Ottoman itu tipe lelaki rumahan yang tidak pernah hang out tanpa saya. Jujur saya tidak pernah bosan menjalani hidup bersama Mr. Ottoman. Sesekali bertengkar dan berbeda pendapat itu wajar dalam hubungan rumahtangga.
Muncul lagi pertanyaan, bagaimana dengan Mr. Ottoman? Bisa jadi dia bosan hanya berdua dengan saya. Lagi-lagi seorang teman di Indonesia pernah berucap, nanti suami kamu cari perempuan lain lho kalau kamu nggak bisa kasih anak.
HEBAT…!!! Hebat sekali teman saya ini. Dia tidak pernah berkenalan dan bertemu dengan suami saya, tapi dia bisa meramalkan hal seperti itu. Padahal dia sendiri belum punya suami.
Dalam hubungan pernikahan ini, kami selalu membiasakan untuk menanyakan kondisi pasangan apakah dia bahagia atau tidak. Pagi hari begitu bangun tidur, kami saling bertanya apakah tidur nyenyak atau tidak. Siang hari kami telponan dan bertanya kabar. Sore hari kembali bertanya tentang kegiatan kami hari itu dan sebelum tidur kami menyimpulkan tentang hari yang sudah kami jalani dan juga tentang cita-cita dan impian kami.
Kalau Mr. Ottoman bosan selalu bersama-sama saya, tentu dia akan pergi keluar dan kongkow-kongkow dengan teman-temannya. Tapi dia tidak mau walaupun sering saya sarankan pergi bersama teman-temannya.
Lima tahun sudah sejak kepergian anak pertama kami. Artinya lima tahun sudah jeda kehamilan saya. Mungkin sekarang memang saatnya memikirkan masalah anak lebih serius. Kamipun mengikuti program anak yang di Jerman biasa disebut Kinderwunsch. Biayanya 75% ditanggung asuransi dan sisanya ditanggung sendiri. Rencananya kami ingin mengikuti program bayi tabung. Sampai saat ini sudah mengikuti dua kali jadwal diskusi dan pemeriksaan dengan dokter. Sampai ditahap ini masih gratis.
Setelah kami berdua diperiksa, kami tidak punya masalah apa-apa. Sampai sekarang belum dapat jadwal lagi. Menurut dokter, sebaiknya kami menunggu saja untuk saat ini karena memang tidak ada masalah.
Sedihkah saya? Jawabannya tidak. Saat ini kami berdua sudah sampai dititik ikhlas. Mr. Ottoman bilang, kalaupun kami tidak punya anak artinya itu adalah keputusan Allah yang terbaik untuk kami. Mungkin saja jika kami diberikan anak, kami tidak bisa menjadi orangtua yang baik ataupun anak itu akan menjadi anak yang nakal. Kami tetap berprasangka baik terhadap rencana Allah.
Kami bahagia melewati tahun-tahun pernikahan tanpa anak, pun jika kelak kami mempunyai anak pastinya kami akan bahagia juga. Mensyukuri apa yang ada hari ini jauh lebih baik daripada menangisi apa yang tidak kita miliki.
Mr. Ottoman selalu berpesan bahwa saya harus mencintai diri saya sendiri, lalu menempatkan cinta saya untuknya diposisi kedua. Kelakpun jika kami punya anak, cinta kami berdua harus ada diposisi teratas. Bukan mendahulukan anak dan mengenyampingkan pasangan karena jika kami saling mencintai, otomatis anak pun akan mendapatkan cinta yang utuh dari kedua orangtuanya dan menjadi prioritas dari kami berdua.
Saya bersyukur saat ini saya tinggal di Jerman. Tekanan sosial karena belum juga punya anak sangatlah rendah. Disini juga saya banyak melihat pasangan kawin campur yang sampai tua hidup bahagia berdua. Ada yang memang tidak bisa punya anak karena penyakit, ada pula yang memang memutuskan untuk tidak punya anak. Saya pun tidak pernah kepo ingin tau kehidupan pribadi mereka kecuali mereka sendiri yang cerita.
Mari sama-sama kita hargai perasaan wanita yang belum diberikan anak biologis dan stop melabeli mereka sebagai wanita yang tidak sempurna. Tidak perlu kepo dengan kehidupan orang lain jika kita bukan orang terdekatnya. Biasakan menjaga lidah agar tidak terlalu tajam mengeluarkan kata-kata yang menyangkut hidup orang lain.
4 Comments
Rahma balci 2. August 2018 at 0:29
tekanan sosial maupun kekepoan akut di indonesia memang luar biasa, saya punya anak setelah 1thn menikah aja pertanyaan yang datang bertubi2, mudik bawa anak satu berumur 1thn ditanya lg kpn nambah anak,skrg anak 2, msh jg ada yg komen knpga tiga, biar rame.., gitu aja terus:) tp bosver lah, skrg jawabannya kalau nambah anak lg,emang situ mau bayarin tiket mudiknya?
yang sabar aja mba:) enjoy your life, soal anak rezeki dr Allah, ikhtiar,berdoa saja,kalau memang sudah rezekinya pasti akan tiba saatnya. bersyukur tinggal dinegara yang kekepoan urusan prbadinya minim. slm dr istanbul
AnneYaa 4. August 2018 at 1:02
Terimakasih sudah membaca tulisan saya mba Rahma Balci. Salama balik dari kota Stuttgart.
Afriyani Khusna 27. Dezember 2018 at 10:19
Saya bsa merasakan apa yang mbak rasakan..karena hampir dua tahun menikah saya sama sekali belum oernah di karuniai anak..dan sedihnya saya tinggal di indonesia ๐
AnneYaa 27. Dezember 2018 at 23:20
InsyaAllah semoga kita segera dikaruniai keturunan biologis kita ya mba ๐