Hidayah bisa datang dari mana saja, termasuk saat kita berada di negeri yang jauh dari nilai-nilai islami. Tetapi hidayah hanya diterima oleh orang-orang yang mau belajar untuk terus memperbaiki diri.
Minggu lalu saya mengikuti pengajian khusus pemudi yang kedua kalinya di daerah Esslingen setelah bulan lalu untuk pertama kalinya diadakan dirumah kak Emil di daerah Fasanenhof. Semua berawal dari kebiasaan saya dan Lili, teman saya yang juga seorang penulis novel yang selalu ‘iya’ aja saat diajak ngumpul-ngumpul.
Di Stuttgart dan sekitarnya ada banyak sekali jenis pengajian orang Indonesia. Mulai dari pengajian keluarga, anak-anak, keluarga campur mahasiswa, pengajian pemuda dan yang terakhir ini pegajian pemudi yang katanya dulu sudah pernah ada tetapi sempat vakum.
Saya dan Lili diajak kakak gaes (ketua genk kami) ikut ngaji. Dia ini lumayan galak klo lagi ngajar, maklum masih keturunan batak. Kami berdua iyain aja begitu diajak ngaji karena kebetulan hari itu nggak ada kegiatan. Tapi nggak nanya dan ngak tau juga itu pengajian apa π
Begitu pertemuan pertama itu selesai, barulah saya tanya sebenernya itu pengajian apa dan baru tau kalau itu pengajian khusus pemudi. Nggak semuanya pemudi sih. Ada sesepuh masyarakat muslim Indonesia di Stuttgart, kak Emil, kak Evy (kakak gaes) & kak Sani. Mereka ini yang ganti-gantian ngasi ceramah sekaligus tempat curhatnya para pemudi, terkhusus yang suka galau. Kalau saya ada diposisi nanggung. Dibilang tua juga belum, muda juga nggak. Muda sih klo dibandingin ketiga sesepuh diatas π
Pengajian dibuka dengan tahsin, ceramah dan tanya jawab, makan-makan (ini yang ditunggu-tunggu anak kos Stuttgart, makan makanan Indonesia tanpa repot-repot perang didapur), solat berjamaah, sesi curhat dan terakhir sesi bungkus-bungkus. Ini asyiknya acara pengajian di Jerman. Perwiritan emak-emak di Indonesia kalah soalnya disini acara bungkus-bungkusnya itu bebas alias ambil dan bungkus sendiri sesuka hati. Intinya dari kita, oleh kita dan kembali ke kita lagi.
Ini bukan soal rakus sih karena kan masing-masing juga bawa makanan ke pengajian juga walaupun pastinya si tuan rumah udah nyediain makanan dan rasa-rasanya di Jerman ini nggak mungkin juga kekurangan makanan. Tapi sensasinya itu beda aja makan makanan Indonesia di Jerman. Makan ikan asin berasa makan makanan bangsawan.
Lupakan soal makan! Maklum ya, emak-emak yang kerjaannya didapur tiap hari. Pikirannya nggak jauh-jauh dari menu makanan π
Nah, di sesi curhat inilah hati saya tercolek. Sambil makan soto padang buatan kak Emil yangΒ membuat lidah saya nggak mau berhenti bergoyang, saya dengerin lah pemudi-pemudi itu curhat. Sampe ada yang nggak bisa berhenti nangis.
Yang paling menggelitik buat saya adalah ketika berbicara soal hijrah dan hidayah. Indah, pemudi yang baru aja lulus kuliah jurusan arsitektur dan sekarang sudah bekerja disini cerita soal proses hijrahnya yang saat datang ke Jerman itu masih belum berhijrah.
Wow! Rasanya saya yang udah berhijab sejak lulus SD ini iri sekali dengan proses perjalanan hijrahnya Indah. Saya tidak melewati proses yang dia lewati, bergelut dengan batinnya dan tentunya tidak mudah berhijab di Jerman ini. Menurut Indah, justru dia mendapatkan banyak sekali kemudahan setelah berhijrah.
Indah yang tadinya asal saja dalam membeli makanan menjadi pemilih setelah hijrah. Contohnya soal membeli daging. Dulu Indah biasa membeli daging di supermarket biasa. Memang dagingnya daging sapi, tapi kan kita tidak tau bagaimana prosesnya. Selain itu, di Jerman juga banyak toko turki yang menjual daging halal. Kalau ada yang sudah jelas halal kenapa beli yang masih diragukan. Alasannya simpel, karena toko turkinya jauh dan dia malas ke toko turki.
Dia juga menambahkan kalau hijrah yang sebenar-benarnya hijrah itu bukan sekedar menutup aurat. Tetapi juga memperhatikan apa yang masuk ke tubuh kita karena itu semua juga bisa mempengauhi tindak tanduk kita dalam kehidupan ini.
Yang buat saya tambah iri itu Indah sampai nangis menceritakan proses perubahannya itu. Saya rasa itulah yang disebut hidayah dan saya belum pernah punya perasaan seperti itu.
Bukan cuma Indah, saya juga punya beberapa teman lainnya yang justru mendapatkan hidayah dari negeri kafir yang jika kita, manusia-manusia dari negeri tropis ini nggak punya tameng yang kuat untuk menahan segala godaan hidup di negara bebas, bisa langsung terjun bebas dalam kehidupan bebas sebebas-bebasnya.
Baru saya sadar, sejak tinggal di Jerman saya juga jadi lebih rajin cari tau soal agama saya karena saya dan Mr. Ottoman juga berbeda mazhab. Dia hanafi dan saya syafi’i. Dulu waktu masih di Indonesia saya santai dan merasa aman. Solat ada yang mengingatkan dari mesjid, makanan halal tidak susah dicari, makanan kemasan ada label MUI. Pokoknya bener-bener terima bersih. Sedangkan disini setiap belanja di supermarket pasti bacain komposisi makanannya, ada zat yang haram atau nggak. Di pengajian juga belajar zat-zat kimia yang halal dan haram, mana istilahnya susah-susah lagi. Yang pasti, ikut pengajian di Jerman itu nggak berkelompok-kelompok dan nggak mudah mengkafir-kafirkan dan menyalahkan orang-orang yang berbeda. Mungkin salah satu alasannya ya karena di Jerman ini segala jenis mazhab ada.
Hidayah itu tidak mengenal tempat dan waktu. Wanita-wanita hebat yang saya kenal disini dan juga yang mendapatkan hidayah di negeri kafir ini juga tidak hanya duduk diam menunggu dan tidak mau tau. Mereka belajar, ikut pengajian dan tentunya juga bepikir sampai akhirnya dapatlah hidayah itu, bukan di negeri dengan latar belakang islam yang kuat, melainkan di negeri kafir, JERMAN.
1 Comment
Anonymous 20. Dezember 2018 at 0:25
Terharu saya kak?