Akhir Desember lalu saya dikunjungi 3 orang keponakannya si mas. 2 orang dari Berlin dan yang satu lagi dari Mannheim. Hampir satu minggu kami bersama karena kami mengajak mereka liburan akhir dan awal tahun ke Swiss. Bersama-sama mereka 24/7 membuat saya mendapatkan banyak hal baru tentang orang Turki. Meskipun sudah 10 tahun menikah dengan si mas, rasanya masih belum cukup untuk mengenal karakter orang Turki.
Banyak keluh kesah yang mereka utarakan. Memang mereka memiliki hubungan yang erat dengan omnya, yaitu suami saya. Walaupun umur mereka ada yang tidak beda jauh dari saya, tetap saja saya pun harus bisa memposisikan diri sebagai orang yang juga bisa mereka percaya untuk bercerita.
Kalau kalian adalah pembaca lama saya, tentu tau bagaimana strugglingnya saya menghadapi budaya Turki yang tidak jarang bertentangan dengan saya. Belakangan sudah hampir tidak pernah saya protes tentang orang dan budaya Turki.
Kenapa?
Karena sudah hampir tidak ada persoalan berat lagi mengenai orang dan budaya Turki yang menghampiri saya. Yang kedua, akhirnya saya paham kenapa dulu sesulit itu saya mengerti tentang mereka.
Si mas adalah anak kelima dari lima bersaudara dan dia adalah anak susulan. Yups, ketika abang-abangnya sudah besar-besar, dia baru lahir. Bisa ngebayangin kan jarak umur mereka cukup jauh. Makanya si mas lebih klop sama keponakan-keponakannya. Mungkin juga karena faktor usia.
Bisa saya simpulkan mostly orangtua dan abang-abangnya si mas itu masuk ke golongan tua. Golongan tua ini memiliki ciri-ciri nasionalis tinggi dan susah menerima budaya baru. Bagi mereka siapaun yang masuk ke keluarga mereka harus menjadi seperti mereka. Tapi alhamdulillah sekarang sudah tercerahkan karena saya kan orangnya nggak gampang nurut-nurut aja 😀
Ternyata tidak hanya ke saya, ke anak-anak mereka pun juga sama. Keponakan-keponakan si mas mengeluhkan orangtua mereka yang dianggap otoriter, tidak mau meminta maaf ke anak meskipun jelas-jelas mereka yang salah dan tidak mau berkomunikasi untuk menjelaskan suatu persoalan. Akibatnya ada anak yang tidak bertegur sapa dengan ayahnya dan bahkan hanya berbicara yang buruk-buruk saja tentang ayahnya.
Mendengar curhatan keponakan-keponakan si mas yang masuk ke Turki golongan muda, saya semakin paham bahwa yang saya alami dulu yang membuat mental saya porak poranda adalah karena Turki golongan tua ini. Mereka yang fanatik berlebihan tentang negara asalnya dan tidak open minded.
Kalau anak-anak mereka saja mengeluhkan orangtuanya yang adalah Turki golongan tua, apalagi saya. Tapi jujurly, everything is fine now. Untuk persoalan saya, mereka juga sudah banyak belajar. Mungkin kalau ke anak sendiri karena mereka tinggal satu atap, anak semakin dewasa dan ketidakcocokan dengan orangtua semakin nyata.
Darisini saya justru banyak belajar. Jika nanti dititipkan anak oleh Allah, semoga bisa membersamai mereka dalam kedamaian. Bukan keributan, meskipun tidak selamanya anak dan orangtua itu sejalan.