Kembali ke tahun 2016, saat itu puasa di Eropa lebih lama dibandingkan tahun ini. Cuacanya juga panas terik karena jatuh tepat ditengah-tengah musim panas. Musim panas di Eropa adalah musimnya liburan. Selain anak sekolah libur panjang, harinya juga terasa panjang karena matahari lama tenggelam.
Mr. Ottoman sengaja ambil libur dan ngajakin pulang ke tanah leluhurnya di Turki. Tentu dengan iming-iming jalan-jalan ke tempat-tempat keren. Dia paham betul istrinya nggak akan mau diajak pergi kalau ujung-ujungnya cuma duduk manis dirumah emaknya 😀
Seminggu menjelang lebaran kami meninggalkan Stuttgart untuk terbang ke Samsun tempat keluarga besar Mr. Ottoman berasal. Samsun bukan tipikal kota megapolitan seperti Istanbul, tapi letaknya yang berada disemenanjung Laut Hitam membuat saya semangat untuk melakukan wisata sejarah di kota ini.
Penerbangan yang kami ambil itu nanggung banget waktunya. Jadi saat kami memasuki ruang tunggu, itulah saatnya berbuka puasa. Mr. Ottoman pilih jam itu katanya supaya nggak terlalu berat puasanya. Kalau perginya siang mungkin akan lebih lemas. Saya sudah nyediain makanan dan minuman dari rumah buat buka puasa di bandara. Cuma börek isi keju dan roti supaya simpel. Tapi kan nggak boleh bawa makanan dan minuman kedalam ruang tunggu.
Itulah hikmahnya orang puasa, kebetulah kami dapat petugas orang Turki dan sempat ngobrol juga sama Mr. Ottoman. Jadi kami diizinin bawa makanan dan minuman untuk buka puasa. Ternyata petugasnya itu juga sedang puasa. Nggak kebayang saya gimana capeknya dia seharian kerja dan puasa yang saat itu di Jerman masih 18 jam.
Puasa di Turki lebih cepat dibandingkan Jerman. Tapi tetap saja jatuhnya masih sekitaran 17 jam. Cuacanya juga lebih panas. Kebayang kan gimana rasanya. Kalau cuma nahan makan sih nggak terlalu susah ya, nahan haus dalam keadaan cuaca panas terik ini wow sekali rasanya. Syukurnya di Samsun masih terasa suasana puasanya, walaupun nggak semeriah di Indonesia yang dimana-mana ramai orang berjualan takjil.
Di Samsun, keluarga Mr. Ottoman tinggal didaerah Çarşamba. Jadi bukan dipusat kotanya. Sesuai janjinya, Mr. Ottoman ngajakin saya jalan-jalan ke pinggiran Laut Hitam. Sekitar 15 menitan waktu yang kami butuhkan dari rumah sampai kesana. Puasa-puasa jalannya ke pantai dengan matahari terik. Untungnya nggak ada yang jual aneka es dipinggir jalan. Bisa nggak kuat iman 😀
Ternyata disini nggak cuma areal pinggir pantai biasa. Disinilah saya dapat jawaban tentang Suku Amazon yang sekarang terkenal dari Amerika itu. Meskipun sebenarnya cerita tentang Suku Amazon itu masih simpang siur, ditempat ini diceritakan bagaimana kisah awal mula kehidupan suku heroik yang hanya dihuni oleh perempuan itu. Juga ada museumnya tentang kehidupan mereka dulu. Sayangnya saat kami datang museumnya sudah tutup. Tapi bulan Juni nanti saya berencana masuk ke museum itu.
Jalan-jalan saat puasa gini awalnya saya pikir akan melelahkan, apalagi cuacanya panas dan tempat yang dituju membutuhkan banyak tenaga. Bisa-bisa tenanganya habis sebelum buka puasa. Nyatanya lapar dahaga itu hilang saat saya disuguhi pemandangan lautan luas nan biru toska.
Meskipun puasanya cukup lama nggak membuat orang-orang disini mengurung diri didalam rumah. Tempat ini ramai dikunjungi warga lokal juga. Dari yang tua sampai yang masih bayi. Nggak tau deh semuanya puasa atau nggak. Seenggaknya nggak banyak orang jualan makanan disini, cuma restoran tertutup yang buka saat itu. Jadi makanan dan minumannya juga nggak kelihatan dari luar.
Areal pantainya ternyata tidak kecil. Banyak pilihan wisata disini. Ada kereta gantungnya juga dan kami sempat nyobain. Tapi jangan coba-coba mandi-mandi di pantainya karena airnya dalam dan ombaknya besar. Saya juga nggak lihat ada orang mandi-mandi disana. Pinggir pantainya tidak berpasir, melainkan bebatuan. Duduk-duduk diatas batu-batu besar itu sambil menikmati dentuman ombak besar menghanyutkan ingatan saya ke masa-masa dahulu saat teknologi belum sedahsyat sekarang dan saat dimana Republik Turki belum terbentuk, yang ada hanya Kekhalifahan Utsmaniyah. Betapa hebatnya negeri ini dahulu dan betapa pentingnya laut ini kala itu. Tapi Turki tetap masih menjadi negara hebat dimata saya ditengah-tengah guncangan sana sini dari negara-negara barat lainnya.
Hingga menjelang matahari tenggelam kami menghabiskan waktu dengan duduk-duduk dipinggir pantai. Fasilitas disini cukup baik. Banyak kursi tempat berleyeh-leyeh, daerahnya juga bersih. Sesekali saya lihat pelukis asyik menggoreskan kuasnya disalah satu sudut pantai.
Semakin sore pantai ini semakin ramai karena kebiasaan orang Turki yang hobi sekali piknik. Saat-saat puasa begini mereka pikniknya menjelang buka puasa sambil berbuka dipinggir pantai bersama keluarga besar. Heboh deh klo orang Turki udah piknik. Seisi rumah dibawa semua 😀
Jalan-jalan saat puasa begini benar-benar nggak terasa. Dapat bonus satu jam lebih cepat dari Jerman, 17 jam terlewati dengan bahagia. Nggak ngerasai lapar, cuma haus aja sih. Klo Mr. Ottoman bilang, saya bisa lupa segalanya kalau diajak jalan-jalan. Memang bener sih, jalan-jalan itu ada diurutan atas hal-hal yang membahagiakan saya.
Puasa ramadan memang wajib hukumnya bagi kita umat islam. Tapi jangan karena puasa membuat kita malas bergerak, apalagi malas jalan-jalan. Kalau saya sih nggak mungkin malas diajak jalan-jalan, apalagi ketempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Puasa 17 jam, jalan-jalan jalan terus.