Masih cerita Throwback mudik akhir tahun 2016. Perjalanan pertama kami saat itu adalah Kota Banda Aceh. Tiket pesawat Medan-Banda Aceh bisa dikatakan cukup murah. Sekitar satu jam perjalanan kami udah nyampe Banda Aceh, sangat menghemat waktu jika dibandingkan dengan naik bus yang memakan waktu sekitar 13 jam-an.
Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh nggak terlalu besar. Jadi begitu turun pesawat kami nggak terlalu jauh berjalan keluar. Karena kami naik pesawat pertama, kami belum sempat sarapan dari Medan. Makan sebentar di salah satu restoran bandara yang saat itu juga belum buka seutuhnya.
Sebelum makan udah ada beberapa driver yang nawarin kami untuk naik mobil mereka. Tapi kami tolak dengan alasan masih mau makan. Nah, ada satu supir yang keukeh nungguin kami makan. Dia duduk nggak jauh dari tempat kami makan. Bolak balik ngeliatin dengan tatapan iba. Akhirnya saya nggak tega juga. Setelah makan saya sewa mobilnya seharian. Cuma 450 ribu udah semuanya.
Perjalanan pertama kami di Banda Aceh yaitu pemakaman massal korban tsunami yang nggak jauh dari bandara. Nggak lama sih disana karena nggak ada apa-apa juga, cuma tanah datar. Tapi suasananya sejuk dan bikin adem. Terus kami lanjut ke Museum Tsunami yang arsitektur bangunannya dirancang oleh Bapak Ridwan Kamil. Buat saya ini bukan yang pertama kalinya ke Museum Tsunami. Masuk kesini juga nggak dipungut biaya alias gratis. Cuma bayar parkir mobil 5000 rupiah.
Sekitar setengah jam kami di Museum Tsunami, lanjut ke Mesjid Raya Baiturrahman sekalian solat zuhur. Saat itu halaman mesjid sedang ada perbaikan, jadi banyak pasir dan bahan bangunan yang membuat pemandangannya sedikit terganggu. Saya pergi solat sendiri di bagian wanita, Mr. Ottoman dan si abang supir pergi berdua.
Setelah selesai solat, saya lihat Mr. Ottoman ngobrol sama cewek-cewek. Bukan yang pertama kalinya sih. Saya liatin aja tuh cewek-cewek kecentilan ketawa ketiwi nggak jelas. Terakhir mereka pergi ninggalin Mr. Ottoman dan abang supir dengan muka kecut. Tanpa ditanya Mr. Ottoman yang cerita sendiri klo mereka nanya, sama siapa Mr. Ottoman datang ke Indonesia. Dengan polos dan jujur dia jawab sama istri saya. Kecewalah mereka yang mungkin udah berharap klo Mr. Ottoman itu single 😀
Dari Baiturrahman kami ke PLTD Apung yang sangat melegenda itu. Lokasinya ada di Punge Blang Cut, tidak jauh dari Mesjid Raya Baiturrahman. Tempat ini tutup dari jam 12 siang sampe jam 2. Makanya tadi kami agak lama di Baiturrahman, sekalian nunggu tempat ini buka. Saya lupa berapa harga tiket masuknya, yang pasti bayar dan bayar parkiran juga.
Buat yang belum tau, Kapal PLTD Apung ini adalah kapal yang terhempas gelombang tsunami ke daratan. Ukurannya sangat besar, jadi bisa dibayangkan gimana dahsyatnya tsunami yang menerjang Aceh tahun 2005 silam. Kami duduk-duduk diatas kapal sambil menikmati indahnya kota Banda Aceh dengan pantai-pantai biru toskanya. Angin sepoi-sepoi pun ikut menerjang kami sampai-sampai Mr. Ottoman terduduk dipojok kapal menahan kantuk akibat buaian angin 😀
Perjalanan kami lanjutkan ke Lampulo, mengunjungi kapal diatas rumah yang masih berhubungan juga dengan tsunami. Berbeda dengan PLTD Apung, disini pengunjungnya lebih sedikit. Bahkan saat itu hanya ada kami disana. Tidak ada pungutan biaya untuk mengunjungi tempat ini. Tapi kalau mau membantu biaya perawatannya, kamu bisa memasukkan uang ke kotak sumbangan yang diletakkan disana. Ada juga yang menjual buku-buku dan makanan khas Aceh disini. Jika mau buat kenang-kenangan, kamu bisa beli sertifikat dengan namamu diatasnya yang waktu itu dihargai 12 ribu rupiah.
Lanjut lagi ke tujuan berikutnya. Bergeser sedikit keluar Banda Aceh, tapi nggak terlalu jauh sih yaitu ke rumah peninggalan Cut Nyak Dien di Desa Lampisang, Aceh Besar. Hanya memakan waktu 20 menit dari Banda Aceh.
Masuk ke rumah panggung bergaya rumah adat Aceh ini tidak dipungut biaya. Didalamnya terdapat benda-benda peninggalan Cut Nyak Dien dan suaminya Teuku Umar. Kamar tidur serta perabotan-perabotan lainnya juga masih tersusun rapi disana, meskipun usianya juga sudah renta mengikuti jejak pemiliknya yang sudah almarhumah. Disisi lain rumah ini ada sebuah sumur tua dengan kedalaman sekitar 10 meter. Saat ini sumur itu sudah tidak digunakan lagi. Konon kabarnya dulu Cut Nyak Dien pernah bersembunyi didalam sumur ini saat dicari-cari oleh Belanda.
Keluar dari rumah Cut Nyak Dien, banyak pedagang cemilan berjejer rapi menawarkan aneka cemilan khas Aceh. Saya sebenarnya mau beli, tapi mobil terlanjur sudah jalan. Jadi kami lanjutkan saja ke Lampuuk.
Sebelum makan malam dan menikmati senja di Pantai Lampuuk, kami singgah di Kampung Turki. Solat ashar di Mesjid Rahmatullah yang sangat fenomenal itu karena tidak hancur terkena terjangan tsunami. Hanya ada sedikit kerusakan yang sampai saat ini sengaja dibiarkan sebagai bukti sejarah.
Mr. Ottoman bangga banget diajak kesini. Apalagi disana ada tulisan dalam Bahasa Turkinya. Banyak banget dia foto-foto dan dikirim ke keluarga besarnya.
Selesai solat kami langsung ke Pantai Lampuuk. Duduk-duduk di pinggir pantai sambil menikmati hidangan makan malam. Masih sore sih sebenarnya, sore menjelang maghrib. Kami pesan ikan bakar sama es kelapa muda. Mr. Ottoman lahap banget makannya.
Sedikit melenceng dari cerita, darisini saya belajar banyak klo terlalu ramah ke driver juga nggak bagus. Saya sebelumnya nawarin si driver mau makan apa. Saya pikir nggak mungkin dong kami makan trus dia cuma ngeliatin doank. Eh dia bilang sama aja kek menu kami. Saya pesenin lah ikan bakan es kelapa juga. Maksud hati saya pengen makan berdua aja sam Mr. Ottoman, eh malah dia ikut duduk di saung yang sama dengan kami. Udah kek keluarga aja, padahal nggak kenal. Trus dia main ambil aja makanan di piring kami yang harusnya nggak kecampur sama punya dia.
Ini supir dari tadi saya lihat-lihat memang sok akrab banget sih. Dia foto-foto sama Mr. Ottoman nggak minta izin langsung di posting di medsosnya. Pake pamer segala ke saya klo teman-temannya pada iri katanya. Karena saya udah capek keliling seharian, saya nggak mau tanggapin. Cukup jadi pelajaran aja buat kedepannya.
Dari Pantai Lampuuk kami langsung ke penginapan Joel’s Bungalow. Nginap semalam disana dan besoknya langsung nyebrang ke Sabang.