Hari kelima di Italia,
Awalnya kami berencana ke Kota Sienna yang juga berada di propinsi yang sama dengan Kota Pisa, Tuscany. Mengingat untuk sampai kesana kami membutuhkan waktu sekitar 2 jam dari resort tempat kami menginap. Sekitar 4 jam habis di jalan dan kami tidak berencana menginap disana. Padahal ada banyak sekali tempat-tempat cantik yang wajib dikunjungi saat ke Kota Sienna. Pun pada saat itu kami lihat-lihat Kota Sienna juga masih sangat dipadati turis-turis. Akhirnya kami batalkan niat ke Kota Sienna dan memilih Kota Florence yang merupakan kota kelahirannya masa renaissans.
Dari Pisa ke Florence kami membutuhkan waktu satu jam. Saya sengaja bangun pagi-pagi agar bisa lebih lama menghabiskan waktu di Florence yang katanya sangat identik dengan karya-karya seni yang sangat mendunia seperti karya-karya buatan Michaelangelo.
Jalanan dari Pisa menuju Florence sangat berbeda dengan jalanan di Jerman. Mulai dari bentuk bangunan-bangunannya sampai bentuk terowongannya. Terowongan di Italia terlihat lebih kumuh. Dinding-dinding terowongan sepertinya tidak dihaluskan yang membuatnya terlihat kasar dan agak mistis.
Begitu memasuki Kota Florence, tampak jelas bahwa kota ini sangat digemari turis dari seluruh penjuru dunia. Mobil kami melewati gang-gang kecil namun sangat lekat sekali dengan masa-masa renaissans untuk mencari tempat parkir. Mobil terpaksa berjalan tersendat-sendat karena kerumunan turis yang memadati setiap sudut Kota Florence. Setelah dua kali berputar-putar di gang-gang kecil itu, akhirnya kami memutuskan parkir di stasiun kereta api dengan biaya 2 euro per jamnya.
Hari yang panas dengan matahari terik, Florence sangat padat dengan kehadiran orang-orang dari seluruh penjuru dunia untuk melihat mahakarya anak bangsanya yang hingga kini masih tetap dikenal dunia. Belum apa-apa kami sudah pusing melihat kerumunan orang-orang. But show must go on. Kami berjalan mencari Cattedrale di Santa Maria del Fiore atau Gereja Katedral Santa Maria.
Saya memang penggemar bangunan-bangunan bersejarah, khususnya bangunan abad pertengahan. Saya takjub melihat arsitektur gereja ini begitu melihatnya benar-benar sangat dekat ke indera penglihatan saya. Arsitekturnya cukup rumit dan berbeda dengan bangunan-bangunan bersejarah di Jerman. Seperti percampuran byzantium dan roma. Warna dindingnya dominan putih dengan garis-garis detailnya diwarnai hijau marbel. Sedangkan kubahnya berwarna orange.
Gereja ini merupakan peninggalan zaman gotik Italia. Ada banyak tangan yang memegang kendali pembangunan gedung masterpiece ini. Namun pembangunan awalnya dipegang oleh Arnolfo di Cambio (1245-1302).
Masuk ke gereja ini tidak dipungut biaya jika hanya di lantai satu. Kalau ingin melihat isinya lebih detail dan naik ke kubah gereja, pengunjung dikenai biaya seharga 18 euro. Antriannya saat itu cukup panjang dan itu adalah hal yang biasa terjadi. Secara formal tertulis bahwa setiap pengunjung yang masuk kedalam gereja ini wajib berpakaian sopan dan tertutup. Tidak boleh pakai celana pendek dan baju tak berlengan. Namun fakta yang saya lihat petugas tetap membiarkan pengunjung berpakaian terbuka masuk kedalamnya. Sebelum masuk, semua pengunjung di scan dan bawaannya juga diperiksa.
Kami cuma sebentar berada didalam karena kami cuma masuk di lantai satu saja. Nggak banyak yang bisa dilihat di lantai satu ini. Saya duga lantai ini sudah tidak digunakan untuk ibadah lagi karena kalau masih digunakan pastinya orang-orang yang beribadah akan sangat terganggu dengan ramainya turis.
Didepan Gereja Katedral Santa Maria ada bangunan Baptistery yang arsitekturnya juga mirip-mirip dengan bangunan Gereja Katedran Santa Maria. Kami juga tidak masuk kedalamnya.
Sejenak istirahat dan mencari perlindungan dari teriknya matahari, kami melipir sedikit ke toko yang ada diseberang samping Baptistery. Beli dua cup es krim. Tempat ini juga ada jual aneka jenis makanan seperti pizza. Kami juga ketemu orang Indonesia yang antri makanan disini. Jelas sekali bisa ditebak wanita yang jalan-jalan ke Florence bersama ibunya yang sudah sepuh itu adalah orang Indonesia. Saya jelas sekali mendengar mereka bicara Bahasa Indonesia dengan aksen jawa yang kental.
Selesai makan es krim, petualangan kembali berlanjut. Lagi-lagi kami jalan melewati gang-gang kecil Kota Florence. Masih disekitar Gereja Katedral Santa Maria, banyak sekali bangunan peninggalan gotik disini. Sambil jalan kami ngobrol tentang masa-masa dimana bangunan ini baru dibangun, masa dimana orang-orang masih menggunakan kereta kuda. Pasti dulu Kota Florence tak seperti saat ini yang dijadikan mesin penghasil uang dari segi touristiknya.
Tujuan kami selanjutnya adalah Palazzo Vecchio. Ditengah jalan menuju kesana banyak sekali pedagang kaki lima yang menjajakan oleh-oleh khas Florence. Harganya lebih mahal daripada di Pisa. Kami juga melewati Piazza della Repubblica, city square yang dikelilingi pedagang kaki lima. Saat itu sedang ada perbaikan disana yang membuat gedung ini kurang sempurna.
Sampai di Palazzo Vecchio yang merupakan museum tiga zaman yang dinding-dindingnya dipenuhi lukisan langsung dari tangan maestro dunia Leonardo da Vinci dan Michaelangelo. Tempat itu sudah penuh dengan turis-turis dari berbagai penjuru dunia. Lagi-lagi kami urungkan niat masuk kedalamnya karena melihat panjangnya antrian. Untuk masuk kedalam pengunjung dikenai biaya sekitar 10 euro.
Kami duduk-duduk di Piazza della Signoria yang ada disebelah kiri depan Palazzo Vecchio. Tempat ini semacam alun-alun kota yang dulu sangat erat hubungannya dengan dunia politik di Florence. Disini berdiri patung-patung bersejarah. Duduk-duduk disini seperti menonton pertunjukan seni kelas dunia gratis. Salah satunya patung yang berjudul David karya Michaelangelo yang melambangkan perlawanan golongan Republik terhadap penindasan yang dilakukan oleh bangsa Medici. Saat itu banyak juga saya lihat pelukis muda melukis patung-patung disini.
Perjalanan kami berlanjut ke Ponte Vecchio, sebuah jembatan tua yang terbentang diatas Sungai Arno. Sampai tahun 1218, jembatan ini adalah satu-satunya yang berdiri diatas Sungai Arno.
Sebelum mendekati jembatan tua itu, kami jalan-jalan dijalanan sekitarnya. Lalu lintas disini benar-benar padat. Mobil-mobil dipaksa berjalan tersendat-sendat. Ditambah lagi ramainya turis-turis yang datang. Disepanjang jalan banyak penjual lukisan yang menawarkan jasa. Florence memang sangat kental dengan karya seninya.
Mulai berjalan diatas Ponte Vecchio, toko-toko perhiasan merk ternama berjajar di kanan kirinya. Ada juga pedagang kaki lima yang menjual souvenir. Disisi lain jembatan, dua orang polisi siaga berjaga-jaga. Ramainya Ponte Vecchio seperti pasar ikan. Didukung toko-tokonya masih mempertahankan bangunan lama yang terlihat lusuh tapi justru kelusuhannya itulah yang menarik minat wisatawan.
Darisini kami berjalan menyusuri Sungai Arno. Dijalan kami menemukan kereta kuda ala kerajaan. Nggak tanggung-tanggung, harga sewanya per jam 100 euro. Saya nyeletuk ke Mr. Ottoman, “Mungkin itu kuda keturunan raja kali ya. Makanya harga sewanya mahal.” Memang sih kudanya terlihat cantik, montok dan sehat. Pak kusirnya juga berpakaian rapi seperti di kerajaan.
Kami berjalan lagi menuju parkiran mobil. Jalan kaki di Florence harus hati-hati. Selain banyak turis, juga banyak mobil lalu lalang. Sebelum sampai ke parkiran, kami menemukan satu bangunan bersejarah lainnya. The Basilica of Santa Croce, gereja basilika tempat Galileo Galelei, Michaelangelo dan beberapa orang penting lainnya dimakamkan.
Hari yang panas dan ramainya turis membuat mood kami sedikit rusak. Padahal di Florence ada banyak sekali tempat-tempat bersejarah dengan karya seni yang mendunia yang sangat layak dikunjungi. Karena udah capek, kami langsung ke tujuan akhir. Piazzale Michaelangelo, alun-alun yang ada di bukit. Dari atas sini bisa terlihat keseluruhan Kota Florence yang sangat indah.
Sebelum kesana, kami makan dulu di restoran cepat saji di stasiun kereta. Harganya beda-beda tipis sama di Jerman. Sekalian wifi gratis. Disini banyak turis yang sengaja istirahat karena capek keliling Florence. Ada yang selonjoran di kursi, ada juga yang nggak tanggung-tanggung sekalian tidur terlentang di kursi.
Di Piazzale Michaelangelo juga terdapat kopian patung David karya Michaelangelo. Disini pun juga banyak turis. Tapi pemandangan yang indah dengan balutan hembusan angin penyejuk tubuh yang lelah kesana kemari mengembalikan mood kami yang rusak. Tapi harus tetap bersabar kalau mau foto disini. Pasti berebut dengan turis-turis lain. Saya aja sampe diomelin sama turis dari Cina gara-gara dia mau foto berdua sama istrinya dan saya masuk ke fotonya. Padahal saya duluan yang ada disitu 😀 Maaf, saya bukan rasis. Tapi beberapa kali ketemu turis Eropa, mereka dengan sopan meminta saya agak menjauh karena mereka mau foto dengan latar Kota Florence. Kalau ngomong baik-baik kan pastinya enak ya…Oya, masuk kesini nggak dipungut biaya alias gratis. Tapi waktu itu kami kasi 2 euro ke laki-laki disekitara parkiran. Klo orang Medan bilang semacam PS (Pemuda Setempat) biar aman. Sebenarnya nggak ada pungutan uang parkir.
Dari Piazzale Michaelangelo kami langsung balik ke resort di Pisa. Jalanan di Kota Florence juga berbeda dengan Stuttgart yang sangat teratur. Disini saya lihat banyak pengendara yang suka-suka. Hampir sama seperti di Turki.
Florence, saya sebenarnya menyukai kota seni ini. Satu hari tidak akan cukup mengelilingi ibukota Propinsi Tuscany yang dulu juga pernah menjabat sebagai ibukota negara Italia ini. Jika dulu Florence dipenuhi seniman, kini Florence dipenuhi turis yang ingin melihat peninggalan para seniman tersebut.
Florence, see you in another time…