Semua berawal ketika Mr. Ottoman mengajak saya liburan ke Izmir. Saya tolak mentah-mentah karena saya maunya ke Mesir. Iya…itu salahnya dia sendiri karena ngasi option liburan ke Mesir atau Izmir. Akhirnya dengan berat hati saya merelakan Izmir menjadi tujuan penjelajahan kami yang kesekian karena visa Jerman saya diambang batas masa berlakunya dan belum boleh diperpanjang. Kami sudah tanya ke kantor imigrasi dan juga kedutaan Mesir. Katanya kemungkinan saya tidak bisa masuk ke Jerman lagi kalau saya ke Mesir karena masa berlaku visa yang sudah mau habis. Walaupun tidak pasti, tapi sangat beresiko. Masak iya nantinya saya tinggal di Mesir nungguin Fir’aun hidup lagi ;D
Mr. Ottoman bilang, nggak ada istri yang seperti saya yang diajak liburan kok malah debat panjang dan menolak. Awalnya saya memang keras menolak ke Izmir. Selain karena sudah bolak-balik ke Turki (tapi belum pernah ke Izmir), saya ingin mengunjungi negara lain. Akhirnya setelah disahkan perjanjian ini itu yang diantaranya kami akan mengunjungi negara lain di tahun ini, sayapun setuju pergi ke Izmir.
Tiga minggu lalu kami bertolak dari Stuttgart menuju Bandara München. Semua sudah disiapkan dengan matang. Paspor dan surat-surat penting lainnya sepeti biasanya kami jadikan satu dalam tas kecil yang dipakai Mr. Ottoman. Untuk urusan diperjalanan memang menjadi tugas Mr. Ottoman untuk mengatur segala sesuatunya, sedangkan tugas saya ada di urusan packing dan persediaan barang-barang kebutuhan kami.
Kami tiba lebih awal di bandara München, tiga jam sebelum keberangkatan. Begitu counter check in dibuka, kami langsung ngantri. Saat itu belum banyak orang yang mengantri. Tiba saatnya giliran kami, saya pun membuka tas kecil tempat penyimpanan semua dokumen kami. Saya terkejut saat paspor saya tidak ada disana. Kamipun mundur dan membuka-buka setiap ruang di tas kecil itu. Hasilnya nihil. Cuma ada satu paspor berwarna merah disana, paspor Turkinya Mr. Ottoman.
Mr. Ottoman yakin betul bahwa dia sudah memasukkan paspor saya dan mengeceknya lagi sebelum kami berangkat. Dia biasanya memang sangat teliti. Kami masih berharap paspor saya nyelip di tas-tas lainnya. Kamipun membongkar dua koper berukuran sedang dan satu tas ransel yang kami bawa. Hasilnya juga nihil.
Mr. Ottoman terlihat sangat kecewa dan sedih. Liburan yang sudah dia rencanakan dan ceritakan ke keluarga dan teman-temannya harus gagal. Berulang-ulang dia mengatakan, kenapa bisa begini padahal dia adalah orang yang sangat teliti dan hati-hati. Dan entah kenapa saya menanggapi dengan santai kejadian itu, tidak sedih apalagi kecewa.
Saya tenangkan Mr. Ottoman yang berulang-ulang mengungkapkan kekecewaannya dan menyarankannya untuk menelpon kantor kereta api di stasiun pusat München. Terakhir kali tas kecil itu dibuka adalah saat petugas kereta dari Stuttgart menuju München mengecek tiket penumpang. Penumpang-penumpang sebelum kami diminta menunjukkan paspor mereka. Mr. Ottoman pun sudah mengeluarkan paspor kami sebelum petugas itu datang. Entah kenapa petugas itu bilang tidak perlu menunjukkan paspor. Saya duga paspor saya jatuh saat petugas itu memeriksa tiket, tetapi Mr. Ottoman bilang dia yakin sudah memasukkannya kembali kedalam tas.
Beberapa kali menghubungi kantor stasiun kereta München, akhirnya ada juga yang mengangkat. Mr. Ottoman menjelaskan kejadiannya serta menyebutkan nama kereta yang kami naiki. Apesnya kereta yang kami naiki tadi melanjutkan perjalanan ke kota Bazel, Swiss. Jadi, ada kemungkinan paspor saya sudah sampai Swiss kalau memang tertinggal di kereta. Kemungkinan lainnya adalah paspor saya dicopet.
Tak lupa saya langsung menghubungi KBRI Frankfurt dan menceritakan kejadiannya. KBRI tidak bisa mengeluarkan surat pengganti paspor secepatnya, minimal lima hari kerja dan saya harus ke kantor polisi terlebih dahulu untuk melaporkan kehilangan.
Suasana semakin kacau. Mr. Ottoman semakin frustasi dan mondar-mandir ke receptionist untuk melaporkan kejadian itu dan meminta jalan keluar soal penerbangan kami. Dua jam berlalu, counter check in pun ditutup. Petugas yang tadi melayani kami mengatakan kalau kami sudah tidak bisa terbang.
Sempat saya katakan ke Mr. Ottoman untuk tetap berangkat liburan dan saya akan kembali ke rumah. Dia menolak dan bilang kalau saya gila.
Sambil menunggu kabar dari kantor stasiun kereta api, kami keluar bandara mencari makanan sambil menenangkan diri. Saya katakan ke Mr. Ottoman yang masih saja kecewa, mungkin ini memang jalan terbaik buat kita. Pelajarannya ya nggak usah cerita-cerita ke banyak orang kalau mau liburan. Setelah pulang baru boleh cerita. Eh, dia malah nambahin kalau ini semua mungkin saja karena saya ngeyel diajak liburan.
Tiga jam setelah kami menghubungi kantor stasiun kereta api München, mereka menelepon balik. Saya salut dengan kerja mereka, dalam tiga jam mereka bisa menemukan paspor saya yang hilang yang mungkin sudah sampai di Swiss. Ditengah-tengah berjuta-juta orang disana, paspor saya bisa ditemukan. Spontan kami tertawa mendengar kabar itu.
Selesai makan, kami langsung naik kereta menuju stasiun pusat München. Benar bahwa München adalah kota termahal di Jerman. Kami terkaget-kaget melihat harga tiket bandara ke stasiun pusat München seharga 12 Euro per orang dan tidak ada pilihan grup tiket sekali jalan seperti di Stuttgart. Untuk jarak tempuh yang sama, di Stuttgart hanya dikenakan tarif 4 Euro. Ah…sudahlah! Yang penting paspor saya sudah ditemukan. Setidaknya saya nggak harus ribet ke kantor polisi dan ke KBRI Frankfurt untuk mengurus passport baru.
Fakta kedua tentang kota München yang selama ini saya dengar bahwa orang-orang di kota ini sedikit kurang ramah terbukti kebenarannya saat kami tiba di stasiun. Saat itu kami bingung mencari kantor tempat pengambilan barang hilang. Saya pun bertanya ke polisi penjaga stasiun. Di Stuttgart biasanya polisi bersikap ramah walaupun tetap serius. Sedangkan disini sangat tidak ramah. Belum selesai saya menjelaskan kejadiannya, eh saya malah disuruh ke kantor polisi terdekat.
Sudahlah, yang terpenting paspor saya sudah ditemukan. Kami lihat petunjuk arah dan ternyata kantornya nyempil dibagian belakang. Ternyata banyak juga orang yang kehilangan barang disini dan hampir semuanya ketemu. Sebelum paspor dikembalikan, saya harus mengisi formulir dan menunjukkan kartu identitas lain yang tertera nama saya. Saat itu saya tunjukkan kartu asuransi kesehatan. Setelah membayar 5 Euro, kami pun keluar.
Sampai disini saya nggak punya tugas apa-apa lagi. Mr. Ottoman sibuk menelpon travel agent untuk bertanya soal kelanjutan paket liburan kami. Kami tetap bisa melanjutkan perjalanan, tetapi masih harus lapor ke kantor maskapai penerbangan yang kami naiki di Bandara München karena kami tidak jadi terbang dan biasanya tiket pulang juga di cancel.
Sambil cari hotel untuk menginap malam itu, Mr. Ottoman kembali masuk ke bandara dan saya menunggu di halte bus luar. Selesai urusan hotel dan kami memilih hotel dekat bandara, Mr. Ottoman kembali sibuk mencari tiket pesawat ke Izmir untuk penerbangan besok. Saya jadi teringat tadi pagi sebelum berangkat saya sempat ngomel saat dia buru-buru saya supaya cepat. Saya bilang, kamu enak nggak ada kerjaan. Lah saya harus packing, nyiapin ini itu. Belum lagi buat self watering untuk bunga-bunga saya di balkon yang cukup banyak. Pagi itu dia cuma diam mendengar saya ngomel.
Saya jadi berpikir, mungkin saja kejadian ini terjadi untuk menyadarkan saya bahwa kami berdua punya tugas masing-masing. Sekarang lihat saja betapa sibuknya dia ngurus ini itu dan mondar-mandir sana sini, sementara saya duduk cantik di halte bus memandangi orang-orang yang lewat. Spontan saya minta maaf karena pagi tadi sudah ngomel-ngomel menuduhnya tidak ada kerjaan. Akhirnya dia bilang, ah sudahlah! Pasti semua ini yang terbaik buat kita.
Hari yang melelahkan itupun terlewati. Alhamdulillah…tetap bersyukur karena paspor saya nggak jadi hilang 🙂
Kesimpulannya kalau paspor hilang kita nggak boleh panik. Hubungi KBRI dan ingat dimana terakhir kali paspor ada ditangan kita. Lalu, lapor polisi. Insyaallah kalau di Jerman biasanya orang yang menemukan barang kita akan membawanya ke kantor polisi.