Rasisme di Jerman: Fitnah atau Fakta?

Meskipun Perang Dunia II sudah lama berlalu, tapi trauma rakyat Jerman terhadap apa yang menimpa mereka serta stigma buruk yang disematkan kepada bangsa Jerman sebagai pelaku salah satu genosida terbesar di dunia belum sepenuhnya hilang. Jerman berupaya keras menghilangkan stigma sebagai bangsa rasis. Tapi apakah rasisme di Jerman itu benar-benar sudah hilang? Rasisme di Jerman: fitnah atau fakta?

Sejak Februari 2012 saya merantau ke Jerman dan datang ke Jerman memang sudah memakai jilbab. Tahun pertama tidak menemukan masalah rasisme yang cukup mencolok. Hal-hal kecil sih pernah terjadi. Misalnya kenapa saya harus sering-sering solat (solat 5 waktu) yang menurut salah satu orang Jerman yang saya kenal saat itu hanyalah membuang-buang waktu dan tidak hemat air. Tapi hal itu masih bisa saya maklumi.

Pindah ke Kota Stuttgart yang adalah ibukota Negara Bagian Baden-Württemberg juga tidak tampak tanda-tanda rasisme di awalnya. Memang Baden-Württemberg masuk ke wilayah eks-Jerman Barat yang katanya tingkat rasismenya lebih rendah jika dibandingkan dengan wilayah eks-Jerman Timur. Tempat tinggal pertama saya di Jerman juga masih di Baden-Württemberg, sebuah desa bernama Inzighofen.

Inzighofen, pemandangan dari jendela kamar saya dulu

Biasanya tingkat rasisme di Jerman itu lebih tinggi jumlahnya di desa dibandingkan di kota besar. Entah karena saya cuma sebentar tinggal di desa, jadi belum banyak ketemu yang aneh-aneh atau memang di Inzighofen aman-aman saja. Fyi, saya tinggal di Inzighofen selama tiga bulan setengah.

Siapa yang pernah tinggal di Stuttgart, maka tidak akan pernah bisa melupakannya.

Tahun ini adalah tahun keenam saya tinggal di Kota Stuttgart. Pepatah Jerman di atas benar adanya. Stuttgart sudah menjadi rumah saya, rumah yang bahkan ketika mudik ke Indonesia saja tetap saya rindukan. Ada rasa ingin pulang, seolah ada bagian dari diri saya yang tertinggal di Stuttgart.

Faktanya tinggal di Stuttgart tidak melulu mulus-mulus saja. Saat baru-baru pindah ke Stuttgart, jilbab saya pernah ditarik oleh nenek-nenek saat saya mengantri di kasir sebuah supermarket yang lumayan besar. Mungkin klo kejadiannya di Indonesia udah baku hantam. Tapi ini Jerman, where muslims are minority. Saya udah pernah sih nulis soal kejadian ini dan beberapa kejadian setelahnya.

Yang terbaru adalah kejadian beberapa minggu lalu saat saya dan seorang teman mau jalan-jalan ke sebuah bukit di Stuttgart. Tempat ini dijuluki Taj Mahalnya Stuttgart. Sewaktu di bus kami mau diturunin paksa sama supir bus yang dari awal kami naik mukanya udah nggak enak. Kebetulan penumpang di dalamnya semua berjilbab. Saya dan teman saya, lalu ada 2 orang perempuan dan anak-anak kecil dari Bosnia.

Di Taj Mahalnya Stuttgart yang saat sebelum kesini ketemu supir bus rasis

Kami diteriakin dan disuruh turun ditengah jalan karena supirnya nggak suka sama orang berjilbab. Untung saya ngelawan dan bilang nggak mau turun karena belum nyampek dan kami juga udah beli tiket. Bukan penumpang gelap. Sambil ngedumel jalanlah itu supir sampe ke tempat tujuan kami.

Besoknya teman saya Riska yang pergi bareng saya kemarinnya lagi-lagi mengalami rasisme waktu dia pergi ke pusat kota sama seorang teman. Mereka lagi asyik ngobrol, eh tiba-tiba diteriaki ibu-ibu yang nggak suka sama pendatang muslim.

Meskipun Jerman sudah bersusah payah menghapus bayang-bayang Nazi sebagai catatan buruk sejarah negara mereka, tapi di Jerman saat ini ada yang namanya neo-nazi. Tercatat ada sekitar 24.000 orang tergabung dalam neo-Nazi ini. Seiring semakin banyaknya imigran muslim yang datang ke Jerman, semakin banyak pula pengikut neo-nazi. Beberapa kali juga terjadi penyerangan terhadap mesjid dan komunitas muslim di Jerman. (Mungkin enaknya dibahas di artikel lain soal neo-nazi di Jerman)

Biasanya kalau sudah ada penyerangan terhadap muslim, kami orang muslim di Jerman khususnya yang memakai jilbab pasti disarankan di rumah saja atau jangan pergi sendirian. Biasanya kejadian semacam ini sering bersambung ke penyerangan lain atau sekedar bully-an ke orang-orang muslim lain, apalagi yang penampilannya mencolok dengan memakai atribut agama islam.

Tapi rasisme itu juga nggak melulu soal penampilan dan agama, nggak melulu tentang diserang karena pake jilbab. Rasisme di Jerman juga bisa dialami oleh setiap orang asing yang datang ke Jerman. Tergantung dari negara mana dia berasal.

Contohnya waktu corona baru masuk ke Jerman setahun yang lalu. Sempat ada penyerangan terhadap orang-orang bermata sipit dan yang perawakannya seperti orang Cina. Bahkan orang Indonesia yang bermata sipit juga ada yang kena. Hal ini karena Cina dianggap sebagai penyebar virus corona.

Contoh lainnya, nggak sedikit orang disini yang menganggap orang Asia yang menikah dengan orang Eropa itu hanya karena ingin hidup enak, kaya dan mau ngambil harta mereka. Bahkan ada yang mengira kalau Indonesia itu adalah negara tertinggal, primitif dan kurang pendidikan. Padahal mall-mall di Indonesia itu jauh lebih wah dari mall-mall di Jerman dan saya bisa jamin, klo soal Bahasa Inggris orang Indonesia banyak yang lebih jago dibandingkan rakyat Jerman.

Di acara Jerman Idol aja pesertanya banyak yang kesulitan saat disuruh nyanyiin lagu Bahasa Inggris. Hal ini disebabkan mereka sangat menjunjung tinggi bahasanya dan jarang sekali terdengar orang Jerman memakai Bahasa Inggris.

Memang klo soal teknologi Indonesia kalah jauh sama Jerman, tapi bukan berarti primitif juga. Dan orang Indonesia di Jerman juga umumnya pekerja keras, bayar pajak tinggi, bukan yang duduk-duduk santai terus duitnya datang nyamperin. Karena hidup di Jerman itu mahal dan nggak semua yang nikah sama orang Jerman itu hidupnya dibiayai pasangannya. Dan nggak semua orang Jerman itu juga kaya.

Jadi, rasisme di Jerman: fitnah atau fakta? Jawabannya fakta. Hidup sebagai minoritas di Jerman itu harus bisa membawa diri. Bukankah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung? Kita cukup membaur dengan orang lokal dan mengikuti peraturan yang ada, tapi tidak perlu melebur menjadi seperti mereka. Apalagi melakukan hal-hal yang dilarang agama dan tidak sesuai dengan norma ketimuran kita.

0



1 Comment

Subhanallah. Terus mbak gimana habis jilbabnya ditarik sama nenek-nenek mbak?

Reply
Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog