Mertua Indonesia Vs Mertua Turki

Selama ini cuma nulis tentang mertua Turki ya karena saya nggak punya pengalaman sama mertua Indonesia. Dua kakak perempuan saya mertuanya Indonesia dan baik-baik. Jadi gimana sebenernya mertua Indonesia vs mertua Turki itu?

Lazimnya yang bentrok itu kebanyakan menantu perempuan dan ibu mertua. Kenapa? Karena wanita selalu ingin dimengerti, diperhatikan dan tidak ingin jadi yang kedua.

Barusan saya baca tentang sekolah pranikah, tentang bagaimana cara mengenal calon suami. Tapi tidak disebutkan cara mengenal calon mertua. Padahal punya mertua yang kurang bisa diajak kompromi itu perih cyiiiinnnnn.

Lalu saya baca komentar-komentarnya. Banyak yang curhat soal mertua dan ternyata banyak yang kurang beruntung. Ada aja ulah mertuanya untuk menjatuhkan si menantu. Semuanya punya mertua Indonesia.

Iba rasanya membaca curhatan para istri tentang mertuanya. Nggak semua perempuan itu kuat menghadapi mertua yang berulah. Syukur-syukur klo suaminya pengertian. Klo suaminya cuma membenarkan ibunya, double makan hatinya.

Ada sebagian suami yang tidak mau tau perasaan istrinya, baginya surga di telapak kaki ibu dan ibu adalah makhluk suci yang tidak boleh tersakiti dan kalau menyakiti wajib terima dan maafkan saja.

Saya baca dari komentar para suami, ada yang begini ternyata. Saya cuma mikir andai saja dia mau membayangkan bagaimana jika hal itu terjadi pada putrinya. Sejak dari dalam kandungan sudah diberikan cinta dan kasih sayang yang utuh oleh orangtuanya, setelah menikah justru tidak bahagia.

Pernah sekali waktu saya dinasehati seorang teman laki-laki. Katanya harus sabar menghadapi ibu mertua karena mamanya juga pencemburu sama menantu perempuannya, sering iri saat anaknya membelikan sesuatu untuk istrinya. Padahal mamanya juga sering dibelikan ini itu.

Soal pahala orang sabar nggak usah dibahas lagi, surga jaminannya. Tapi gimana klo udah mencoba sabar dan terus-terusan sabar akhirnya mentalnya rusak. Ini yang bahaya. Tidak terlihat sakit, tapi hatinya diam-diam terluka.

Ibarat gelas retak, pilihannya cuma ada dua. Dibiarkan tetap retak atau pecah. Begitulah keadaan hati seseorang yang terluka parah.

Seorang teman lama saya bercerai dari suaminya. Alasannya karena belum juga memiliki keturunan setelah beberapa tahun menikah. Bukan itu sebenernya alasan utamanya, tapi ibu mertua yang selalu kepo mau cepet-cepet nimang cucu baru. Dia lupa kalau memiliki anak adalah hak prerogatif yang Maha Memiliki nyawa, bukan kita manusia yang menentukan. Teman saya nggak tahan karena suaminya juga nggak bisa berbuat apa-apa, minimal untuk menguatkan hatinya yang terus-terusan ditanya ibu mertua tentang kapan dia hamil. Katanya lebih baik berpisah daripada sengsara seumur hidup.

Jika dilihat-lihat lagi kisah-kisah wanita Indonesia beserta mertua Indonesia mereka, rasanya kok nggak jauh beda sama kisah dengan beberapa mertua Turki. Sama-sama nggak rela kehilangan anak laki-lakinya, cemburu sama menantu perempuan dan tidak ingin posisinya menjadi yang kedua.

Mungkin yang lebih tepat bukan mertua Turki vs mertua Indonesia, tapi mertua Turki dan mertua Indonesia itu sama aja dan tergantung orangnya. Saya sendiri cuma bisa berdoa dan berusaha. Jika saya diberikan anak laki-laki, saya bisa ikhlas saat dia memiliki istri. Tidak cemburu apalagi banyak ikut campur urusan rumahtangga anak seperti yang dilakukan orangtua saya. Tidak banyak ikut campur tapi selalu ada saat dibutuhkan.

Semoga siapapun yang masih struggling menghadapi mertuanya, entah itu mertua Turki, Indonesia ataupun mertua-mertua berkebangsaan lainnya diberikan banyak kesabaran dan kekuatan. Juga secepatnya bisa terselesaikan. Sekali lagi, menikah itu tidak mudah. Tapi bukan berarti lebih mudah tidak menikah.

0



Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog