Dalam Adat Turki: Suami Adalah Raja, Mertua Adalah Ratu dan Istri Adalah Pembantu

“Dalam adat Turki: suami adalah raja, mertua adalah ratu dan istri adalah pembantu”

Hai calon gelin? Gimana perasaanmu setelah membaca kalimat diatas? Masih klepek-klepek sama calon suami Turki yang rupawan nan romantis? Atau justru mundur teratur karena nggak mau dijadiin babu di rumah mertua?

Jangan takut gaes! Kalimat itu saya contek dari komenan seseorang yang mengomentari postingan seseorang tentang cerita sedih nan miris seorang wanita Indonesia yang bernasib kurang baik dalam pernikahannya dengan laki-laki Turki. Saya pastikan mereka-mereka yang komen ini tidak memiliki suami Turki dan komentarnya juga keseringan menggunakan kata “katanya”, “denger-denger” atau “saya punya kenalan yang menikah dengan laki-laki Turki”. Sangking gregetnya membaca komen yang sambung-menyambung menjadi satu opini yang saling mereka benarkan itu, saya screenshot semuanya. Bukan untuk disebarin, cukup ditandai aja orangnya 😀

Memang belakangan saya lihat sedang ramai cerita berbentuk cerpen tentang kisah-kisah miris para perempuan Indonesia yang bersuamikan Turki dengan kesan mertua jahat. Kalau saya selalu cerita soal pertentangan saya dengan mertua soal prinsip menjadi istri dan menjalani hidup, dalam cerita ini lebih parah, sangat parah dan benar-benar parah. Pokoknya itu mertua ngelebihin nenek sihir jahatnya. Walaupun kita semua nggak ada yang tau cerita yang sebenar-benarnya. Dan suaminya sudah bisa ditebak, pasti ada dipihak ibunya.

Sebelum saya lanjutkan, saya cuma mau bilang klo gelin yang beruntung mendapatkan suami Turki baik itu jumlahnya lebih banyak dari yang kurang beruntung. Didekat saya tinggal juga ada beberapa gelin dan nggak ada yang mengalami seperti cerita-cerita itu. Ribut-ribut dalam rumahtangga itu wajar sekali. Yang penting itu keduanya bisa menyelesaikan masalahnya dan baikan lagi.

Efek dari cerita ini berbeda-beda. Yang pasti di Jerman membawa kesan yang lebih jelek untuk orang Turki dan orang Indonesia yang menikah dengan orang Turki lebih dianggap miring walau faktanya kebanyakan perempuan Indonesia yang menikah dengan orang Jerman dituntut untuk cari uang sendiri buat uang jajannya dan klo mau ngirim keluarga di Indonesia. Sementara saya dan teman-teman gelin disini nggak begitu. Uang suami ya uang bersama. Mau kirim uang ke keluarga di Indonesia selama kebutuhan kita tercukupi ya oke-oke aja.

Di Turki mungkin efeknya nggak berlebihan dan para gelin pastinya akan membantu klo memang ada kejadian begitu seperti yang udah-udah.

Back to comment ibu-ibu diatas. Saya jadi teringat ada satu komen juga yang bilang klo adat Turki itu lebih mirip Pakistan. Seriously saya nggak paham, tapi Mr. Ottoman menolak pernyataan itu. Katanya sama sekali nggak mirip. Kadang orang memang suka mengambil kesimpulan sendiri.

Tujuanmu menikah itu apa dan pahami apa itu tugas seorang istri. Jangan dikit-dikit bilang dijadiin pembantu sama suami. Yang ada cuma dapat capeknya, pahalanya hilang. Apakah kalian lupa wahai istri, kita para istri boleh masuk surga dari pintu mana saja yang kita inginkan jika kita melayani dan taat pada suami. Dari pintu mana saja lho! Suami yang kita layani belum tentu mendapatkan privilage itu. Istimewa sekali kita sebagai istri, tapi klo kita ikhlas menjalankannya.

Dulu saya juga sulit memahami soal budaya Turki yang satu ini. Tapi kebanyakan masalah yang terjadi dalam dunia mix marriage Indonesia-Turki ini ya masalah perbedaan budaya. Orang Indonesia yang biasa dimanja dengan layanan-layanan serba wah yang bisa diterima dengan mengeluarkan uang lebih sedikit saja dan orang Turki khususnya para wanitanya yang terkenal setrooonggggg mengerjakan segalanya sendiri dengan tingkat kebersihan diatas rata-rata.

Bayangkan! Suami Turkimu terbiasa tinggal dengan keluarganya yang serba rapi dan bersih. Tiba-tiba menikah denganmu yang juga terbiasa dilayani. Kamu menganggap rumah sudah bersih, tapi nggak dimatanya karena memang tingkat kebersihan mereka diatas rata-rata orang Indonesia. Dari sini aja udah timbul masalah yang klo nggak dicari jalan tengah dan kesepakatannya bisa memicu masalah yang lebih besar lagi.

Kamu menuntutnya menerimamu dengan segala kekuranganmu sementara kamu tidak mau berusaha untuk sedikit saja menaikkan level kebersihanmu. Sedikit aja, nggak usah banyak-banyak karena kita nggak mampu ngalahin tingkat kebersihan emak-emak Turki.

Kunci dari semuanya adalah komunikasi. Itu yang selalu dibilang Mr. Ottoman ke saya karena dulu saya klo marah itu ya ngunci diri di kamar berbeda, nggak mau ngomong dan ketemu.

Nikah sama bule Jerman juga harus ngerjain semuanya sendiri. Bedanya lagi-lagi ada di tingkat kebersihannya. Orang Jerman nggak menuntut kebersihan yang over seperti orang Turki. Kenapa orang Turki begitu? Karena mereka rajin bertamu dan menerima tamu. Makanya rumah harus selalu bersih. Klo nggak ya malu sama tamunya. Sementara di orang Jerman sangat jarang kunjung mengunjungi. Itupun harus buat janji dulu. Nggak bisa langsung nongol kek orang Turki dan Indonesia.

Dalam adat Turki: Suami adalah raja, mertua adalah ratu dan istri adalah pembantu. Saya rasa ini bukan soal adat. Saya setuju klo dibilang suami adalah raja, tapi saya ratunya 😀 Lah kan ini rumah tangga kami berdua. Mana bisa mertua jadi ratunya. Seenggaknya itu yang saya jalani dan jangan coba-coba menjadi ratu di istana saya.

Saya paham maksud mereka yang menyebut mertua adalah ratu. Katanya mertua Turki yang mengatur keuangan rumahtangga anaknya, juga turut campur dalam problematika kehidupan pernikahan anak-anaknya. Tapi itu bukan mencerminkan seorang ratu karena emak-emak Turki itu hidupnya juga capek, apalagi yang tinggal di desa dan nggak punya anak perempuan. Sampe tua juga masih kerja dan merekanya juga kadang nggak mau berhenti. Mana ada ratu yang kerja keras begitu. Klo nggak sakit atau meninggal, emak-emak Turki mana mau cuma goyang-goyang kaki.

Kunci dari semua permasalahan itu ada pada kesepakatan dan pengenalan sebelum menikah. Calon gelin wajib buka mata lebar-lebar. Kenali tabiat dan kebiasaan calon suami dan keluarganya. Kamu boleh kok buat perjanjian pra nikah dengan point-point yang disepakati kedua belah pihak. Nggak usah bilang klo cinta nggak perlu buat perjanjian pra nikah. Ini soal kesehatan mental. Isinya bisa aja tinggal mandiri dan mertua nggak boleh ikut campur. Klo kira-kira adat mereka nggak bisa kamu terima, mundur aja daripada nanti jadi gila.

Contohnya klo kamu di Indonesia apa-apa terbiasa dilayani pembantu, nggak pernah jalan kaki dan nggak ada niat untuk belajar hal-hal baru, sebaiknya jangan nikah sama laki-laki Turki karena di Turki kamu dituntut untuk hidup mandiri. Bukan cuma di Turki, di Jerman juga gitu kok. Atau cari laki-laki Turki yang kaya raya yang mampu bayar pembantu. Tapi di Jerman orang kaya pun tetap nyikat wc di rumahnya juga.

Klo nggak mau merah susu sapi, berkebun, motong kayu dan sebagainya, jangan cari suami yang ngajak tinggal di desa. Klo nggak mau tinggal sama mertua, bilang ke calon suami. Klo dia nggak mau, tinggalin dan cari yang baru karena dari sini aja udah nggak sepakat. Orang yang tinggal di desa di Jerman pun juga berkebun dan motong kayu kok.

Sesekali coba stalking Angie Virgin yang sekarang tinggal di Inggris. Artis, kaya dan udah punya nama besar. Eh ikut suaminya ke Inggris juga ngerjain semuanya sendiri. Masak, ngepel, beberes rumah. Saya salut sama dia yang bisa menjalani kehidupan seperti itu walau terlihat juga suaminya mau bantu pekerjaan rumahtangga. Apalah saya yang seorang anak buruh pabrik dan pedagang diatas selokan mau sok-sokan jadi nyonya besar dan nggak mau nyikat wc sendiri. Saya nggak merasa jadi pembantu karena ini rumah saya sendiri. Apalagi saya hampir 24 jam di rumah, klo rumah bersih suasana hati juga enak.

Klopun tingkat kebersihan itu nggak sama sama orang Turki ya biarin aja. Rumah-rumah kita sendiri dan komunikasikan sama suami. Oya, jangan lupa banyak-banyak doa klo udah terlanjur dapat suami bebal alias keras kepala yang susah ngertiin istri. Istri udah capek tapi masih nggak paham.

Masalah mertua saya udah sering tulis, mulai dari ditulis dengan berapi-api sampe ditulis sesaat setelah diceramahi ustazah di pengajian 😀 

Kesimpulan dari judul dalam adat Turki: suami adalah raja, mertua adalah ratu dan istri adalah pembantu, saya bukan pembantu dan mertua Turki saya bukan ratu. Mereka yang kebetulan mendapatkan keluarga Turki ekstrim itu hanya kurang beruntung saja. Buat anda ibu-ibu yang mengaku status anda lebih diatas perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki Turki karena menikah dengan bule Eropa, ketahuilah di Jermanpun banyak perempuan Indonesia yang mengalami KDRT dari suami Jermannya. Bedanya kurang di up, apalagi sampe dibuatin cerpen. Nggak ada. Hal itu pastinya tidak saya syukuri, tapi buat dijadikan cermin bagi mereka yang menganggap nikah sama laki-laki Turki itu menderita lahir dan bathin tujuh turunan sampe akhirat. Nggak usah berlebihan menilai sesuatu.

 

0



2 Comments

Mintknno wa nya kknyg istri org Turkey saya lgi dekat dengan orgbtureky terimakasih nkk.. tulisannya sangat bermanfaat

Reply

Mbak sybileh munta wa nya. Sy mau tanya kenapa wkt itu ditolak kedutaan? Apa kurang lengkap dokumennya?tlg di jawab di email saya ya tks

Reply
Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog