Amsterdam, Kota Megapolitan Tanpa Batasan

Dari Zaanse Schans kami lanjut ke Amsterdam. Sayangnya di Amsterdam itu susah sekali cari tempat parkir dan mahal pula. Akhirnya kami putuskan untuk parkir mobil didaerah dekat Amsterdam (lupa nama daerahnya). Dari sana kami berencana naik tram ke pusat kota Amsterdam.

Ternyata semuanya nggak berjalan mulus, entah karena alasan apa tram yang ke pusat kota Amsterdam nggak jalan hari itu. Kami turun kebawah lagi ketempat parkir mobil tadi dan naik bus dari sana. Sepuluh menit naik mobil akhirnya nyampe ke Central Station Amsterdam yang sangat terkenal itu. Stasiun ini cukup besar dengan arsitektur abad pertengahan. Didalamnya lebih mirip mall karena banyak pertokoan dan tempat makan juga.

Amsterdam menurut saya benar-benar kota megapolitan tanpa batasan. Keluar dari Amsterdam Central, aneka macam manusia terlihat disini. Bisa dikatakan Amsterdam itu sangat internasional. Kami sendiri bingung mau jalan kemana di Amsterdam karena sebelumnya saya juga nggak hunting tempat yang mau dikunjungi di Amsterdam. Jadinya kami cuma jalan-jalan aja di pusat kotanya dengan ciri khas kanal-kanal dan bangunan-bangunan klasik.

Bangunan klasik di pusat kota Amsterdam

Awalnya kami jalan dipinggiran kanal yang banyak orang ngopi-ngopi dan minum bir. Tiba-tiba kok saya pusing ya nyium bebauan dari depan sebuah gedung. Mr. Ottoman tersadar kalau di Belanda ganja itu legal. Kebetulan saat itu kami berdiri didepan restoran yang jual aneka ganja mulai dari rokok sampai aneka jenis kue. Ada beberapa orang berdiri didepannya yang lagi ngerokok. Jelas dong ya mereka itu lagi ngerokok apa. Akhirnya kami cepat-cepat pergi dari sana.

Sangking ramenya orang, kami semakin bingung mau jalan kearah mana. Ngikut aja deh kemana orang-orang jalan 😀 Tau-tau kami ada di red light district. Awalnya saya nggak tau kalau itu red light district sampe saya sadar yang dipajang di toko-toko itu bukan boneka melainkan manusia. Wanita-wanita cantik nan mulus tanpa busana, maksimal menggunakan bikini yang sangat seksi dipamerkan secara transparan sambil menggoda orang-orang yang lewat di areal ini.

Red light district sangat padat pengunjung dan mayoritas laki-laki. Sambil menggenggam tangan saya Mr. Ottoman cepat-cepat mengajak saya pergi dari sana. Karena sangat-sangat kaget dengan pemandangan itu, saya seperti orang linglung sambil istighfar yang agak kuat sampe-sampe diliatin orang-orang yang jalan disamping saya. Saya kok sedih ya ngeliatnya. Gimana perempuan dijadikan objek jual beli seperti barang, Btw, disini nggak boleh ambil foto.

Keluar dari red light district kami menemukan museum ganja, lebih tepatnya semacam toko yang jual aneka macam produk dari ganja. Didalamnya juga nggak boleh ambil foto. Aneka kosmetik sampai pancake terbuat dari ganja dijual disini. Bahkan disini dijelaskan manfaat ganja untuk kesehatan dan obat-obatan. Pastinya klo dipakai sesuai anjuran dokter dan nggak over dosis.

Museum ganja

Karena padatnya manusia di Amsterdam, saya dan Mr. Ottoman jadi merasa nggak nyaman. Saya ketularan Mr. Ottoman yang nggak suka keramaian kota besar. Padahal ya dulu waktu di Medan mainnya selalu ke tempat begini. Akhirnya kami memutuskan balik ke tempat parkir mobil dan balik ke Landal Dunimar. Padahal sebelumnya kami berencana makan di restoran Indonesia, naik kapal mengelilingi kanal-kanal di Amsterdam dan foto didepan tulisan I AMSTERDAM yang paling fenomenal itu. Berhubung kepala udah keliyengan ngeliat banyaknya manusia di Amsterdam, semuanya dibatalkan karena kenyamanan jiwa itu sangat penting 😀

Singgah sejenak di Amsterdam, membuka fakta baru tentang Amsterdam di mata saya. Kota ini adalah kota megapolitan tanpa batasan dimana ganja dilegalkan dan para wanita dijajakan terang-terangan. Tanpa batasan waktu semua orang bisa menikmati Amsterdam kapan saja.

0



Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog