Joel’s Bungalow, Sensasi Tidur di Dinding Tebing Pantai Lampuuk

Sudah 14 bulan perjalanan ke kota paling ujung Indonesia bagian barat itu menjadi memori dalam kisah travelling kami. Sebuah memori yang cukup membahagiakan saat kami mengenangnya. Mr. Ottoman bahkan enggan meninggalkan tempat itu. Dia merasa nyaman dan tenang disana karena tak seramai hiruk pikuk geliat kehidupan kota Medan dengan beragam bentuk manusianya.

Kami hanya menginap satu malam di Banda Aceh. Tujuan kami sebenarnya memang bukan mengunjungi ibukota Propinsi Aceh ini. Tapi saya pikir tidak ada salahnya sehari keliling-keliling kota syariah ini sebelum melanjutkan perjalanan ke Sabang. Dan benar dugaan saya, Mr. Ottoman menyukai Banda Aceh.

Kami memang tipikal orang yang kadang tidak terlalu merencanakan perjalanan kami secara detail. Begitu juga soal penginapan di Banda Aceh. Saya yakin pasti mudah sekali mendapatkan penginapan disekitaran pusat kota.

Memang awalnya saya ingin menginap di pusat kota Banda Aceh, mengingat keesokan harinya kami ingin cepat-cepat menyebrang ke pelabuhan Balohan di Sabang. Saat kami mengunjungi pantai Lampuuk yang sekaligus menjadi tempat terakhir perjalanan wisata kami di Banda Aceh, saya melihat beberapa rumah kecil seperti rumah panggung tersusun rapi menggelantung di dinding tebing pinggir pantai Lampuuk.

Spontan saya searching tentang penginapan dipinggir pantai Lampuuk. Ternyata bangunan di dinding tebing itu merupakan bagian dari penginapan Joel’s Bungalow. Saya langsung berdiskusi dengan Mr. Ottoman dan ia setuju untuk menginap disana. Langsung saya hubungi pihak hotel dan tanya-tanya harga. Ternyata harganya terjangkau yaitu mulai 300 ribuan permalamnya dan untungnya di hari yang sudah mulai jingga itu, Joel’s Bungalow masih punya kamar kosong.

Joel’s Bungalow

Dari tempat kami duduk-duduk menikmati senja di pantai Lampuuk, Joel’s Bungalow terlihat kecil dan rasanya kami masih harus diantarkan pak supir untuk sampai kesana. Lewat maghrib kami tiba disana. Hari sudah gelap dan pemandangan disekitarnya pun tak begitu jelas. Setelah kamar dibersihkan, kami buru-buru masuk kamar untuk istirahat karena energi sudah terkuras habis seharian menjelajahi kota Banda Aceh.

Bungalow tempat kami menginap

Sebuah kamar yang menggelantung didinding tebing seharga 350 ribu rupiah menjadi pilihan kami. Kamar yang berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu ini tidak memiliki banyak furniture. Hanya ada sebuah tempat tidur dengan kelambu, kipas angin gantung, cermin dan meja. Di terasnya ada dua buah kursi . Lantainya ditutupi tikar anyaman bambu. Bahkan gorden kamar kami juga rusak, tapi masih bisa menutupi seluruh bagian kamar.

Bagian dalam bungalow

Yang paling kami sukai adalah bagian kamar mandinya yang terbuka dan menyatu dengan alam. Tidak perlu khawatir karena tempatnya tertutupi dinding tebing dan pepohonan. Jadi tidak ada yang bisa ngintip walaupun saya juga sempat was-was.

Kamar mandi yang menyatu dengan alam

Malam itu tidak banyak yang kami lakukan disana karena kami langsung tertidur. Deburan kuat ombak yang menghantam tebing kokoh menimbulkan suara gaduh namun merdu di telinga kami. Nyanyian alam itu semakin memanjakan tubuh lelah kami dan menyingkronkan mata dan pikiran yang langsung terbawa ke alam mimpi. Kamipun terlelap dengan ditemani suara ombak yang terus mengalun sepanjang malam.

Kidung pagi kembali menyatukan jiwa dan raga kami yang sempat terpisah selama lebih delapan jam. Hentakan kaki beberapa ekor monyet diatas atap kamar kami juga turut menjadi alasan tersadarnya jiwa yang sedang beristirahat. Makhluk berbulu itu tidak jahat. Mereka hanya bermain-main sambil mencari makan dari pohon yang tumbuh di bebatuan tebing. Begitu sadar kalau penghuni kamar sudah memergoki mereka, mereka lari terbirit-birit. Padahal kami tidak mengusir dan mengusik mereka. Kami hanya bermanja-manja diatas pembaringan dan ngobrol santai untuk perjalanan kami selanjutnya. Mr. Ottoman juga menyambut baik kedatangan mereka karena dia sendiri belum pernah melihat monyet yang hidup bebas di alam liar. Ternyata si hewan primata sangat sensitiv dan tersinggung. Mereka pergi tanpa perintah.

Sejenak kami duduk-duduk di teras sambil menikmati suasana pagi di Lampuuk yang mendung itu. Awan-awan gendut dan gelap memenuhi langit di areal Joel’s Bungalow. Sesekali matahari masih tampak dan tetap menyumbangkan cahayanya untuk penduduk bumi. Segerombolan sapi terlihat santai membaringkan tubuh gempalnya di pinggir pantai.

Pemandangan pagi di Lampuuk dari teras kamar

Setelah mandi dan beres-beres, kami turun kebawah dan memesan sarapan. Saya cukup memesan mie instan seafood dan teh manis panas. Saya sangat rindu menikmati menu ini dengan suasana asli Indonesia. Sedangkan Mr. Ottoman memesan susu coklat hangat dan pancake.

Tidak ada masalah dengan menu yang saya pesan dan selesainya juga cepat. Tapi menu yang dipesan Mr. Ottoman sangat lama datang ke meja kami. Karena takut mie instan saya lebih mengembang, saya duluan menyantap pesanan saya.

Mie instan seafood, coklat hangat dan teh manis hangat di Joel’s Bungalow

Sampai saya selesai sarapan, pancake belum datang juga. Mr. Ottoman sempat protes karena seharusnya mereka menghidangkan menu yang kami pesan bersama-sama. Dia memang tidak suka makan sendiri.

Begitu pancake datang, lelaki muda yang membawa pancake itu sudah memberitahu kalau pancakenya tidak sempurna. Kalau menurut saya itu bukan pancake, tapi crepes. Dalamnya ditaburi ceres, mentega dan pisang. Terus cuma sedikit lagi. Jelas Mr. Ottoman tidak kenyang dan memesan sandwich isi coklat yang lagi-lagi salah dan tidak sesuai. Mungkin kokinya nggak familiar dengan menu yang beginian.

Sampai hari ini Mr. Ottoman selalu tertawa saat teringat cerita pancake dan sandwich di Joel’s Bungalow yang menurutnya sama sekali tidak sesuai dengan aslinya. Memang sich itu bukan pancake dan sandwich seperti yang ada di Eropa. Kalau saya tau lelaki itu tidak bisa membuat pancake, lebih baik saya turun sendiri ke dapurnya dan buat sendiri sarapan untuk Mr. Ottoman.

Mr. Ottoman sangat terganggu dengan keberadaan sapi-sapi itu, apalagi saat kami sarapan karena kotoran mereka juga berserakan di halaman Joel’s Bungalow. Ternyata sapi-sapi itu milik warga sekitar yang meskipun sudah diusir tetap saja setiap pagi datang kesana. Kasihan juga sich pegawai Joel’s Bungalow yang harus bersihin kotoran sapi orang yang banyak itu.

Setelah cek dan ricek jadwal penyeberangan ke Sabang, kami masih ingin menikmati alam Lampuuk yang kadang mendung dan kadang cerah itu. Kami bermain-main di pantai dan tidak bisa berenang disini karena airnya dalam dan ombaknya tinggi. Selain itu juga ada peringatan untuk tidak berenang.

Pantainya yang berpasir coklat dan empuk. Ditambah lagi saat itu tidak ada orang lain disana. Jadi berasa punya pantai pribadi dan bulan madu lagi.

Pantai Lampuuk di area Joel’s Bungalow

Puas bermain-main di Pantai, kamipun check out. Supir yang kemarin mengantarkan kami bolak-balik menghubungi saya karena saya bilang akan saya hubungi kalau perlu. Tapi setelah tanya-tanya di Joel’s Bungalow, harga yang ditawarkan si supir untuk ongkos dari Lampuuk ke pelabuhan Ulee-lee dua kali lipat lebih mahal dari harga normal. Jadilah saya minta bantuan Joel’s Bungalow untuk memesan taksi. Tapi bukan seperti taksi pada umumnya, melainkan mobil pribadi yang dijadikan taksi.

Semalam di Joel’s Bungalow Lampuuk, semuanya menyenangkan kecuali menu sarapan Mr. Ottoman yang amburadul. Suasana yang tenang dan deburan ombak besar non stop melantunkan musik alam mencatatkan kisah indah untuk perjalanan singkat ini.

0



Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog