Istana Neuschwanstein: Ketika Ketenaran Mampu Mengalahkan Segalanya


Hari kedua di Allgäu…

Kami sudah merencanakan untuk mengunjungi Istana Neuschwanstein yang sangat terkenal itu. Untuk sampai ke istana yang dibangun oleh Raja Ludwig II ini kami membutuhkan waktu selama 1 jam, naik dan turun beberapa gunung.

Istana Neuschwanstein terletak di Desa Schwangau, Füssen, negara bagian Bayern. Sebelum mengunjungi istana yang selesai dibangun pada tahun 1886 ini, tentunya saya sudah banyak membaca tentang istana yang sempat masuk nominasi 7 keajaiban dunia pada tahun 2007 ini. Hampir semuanya takjub dengan megahnya bangunan istana.

Begitu kami sudah memasuki desa Schwangau, Istana Neuschwanstein sudah terlihat jelas gagah berdiri diatas bukit. Sayapun kegirangan ketika akhirnya istana yang ada dalam bucketlist saya benar-benar ada didepan pandangan mata saya. Dengan semangat saya ceritakan sedikit sejarah Neuschwanstein kepada lelaki putih yang sedang serius menyetir disamping saya.

Kegembiraan saya semakin tak terbendung tatkala mobil kami sudah berada di tempat parkir. Sebenarnya kami sudah merencanakan pergi ketempat ini sejak musim semi lalu. Karena seorang teman saat itu baru dari sini dan mengatakan sedang direnovasi, kamipun mengundur rencana tersebut. Di website resminya juga disebutkan bahwa renovasi selesai pada musim gugur.

Alam tampaknya berpihak pada kami. Meskipun musim dingin, matahari terus bersinar cerah. Sinarnya memang tidak mentransfer kehangatan, tapi setidaknya terang bisa sedikit lebih betah menjadi penerang bumi bagian barat.

Sudah banyak turis yang mengantri di loket pembelian tiket. Jelas hal ini menunjukkan bahwa Neuschwanstein benar-benar primadona dimata turis dunia. Kami yang sudah sering keluar masuk istana-istana Eropa ini saling menatap begitu melihat harga tiket. 13 euro untuk satu istana dan 22 euro tiket kombi untuk Istana Neuschwanstein, Hohenschwangau dan Museum.

Dulu, ketika kami mengunjungi Istana Ambras di Austria, hanya dengan 10 euro kami sudah bisa masuk dua istana dan satu museum dan disana kami banyak sekali membawa pulang pengetahuan tentang sejarah seperti kisah drakula yang sebenanya.

Tiket sudah ditangan. Kekecewaan pertama pun terjadi. Kasir memberitahukan bahwa tidak ada bus beroperasi hari ini. Pilihan untuk sampai ke puncak Neuschwanstein adalah jalan kaki selama 30 menit atau naik kereta kuda dengan membayar 6 euro per orangnya.

What? Kenapa mereka tidak update di websitenya?

Ah…sudahlah! Toh kaki ini sudah berdiri di tanah Desa Schwangau. Kami memutuskan naik kereta kuda. Dua ekor kuda berbadan montok, kekar dan berambut indah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menaiki bukit agar 12 manusia yang ada diatasnya bisa sampai di Istana Neuschwanstein tanpa harus kelelahan. Oya, waktu kereta kudanya baru aja jalan, kudanya kentut dan kami pas banget duduk dibelakangnya, bersebelahan sama pak kusir. Seumur-umur baru kali ini dikentutin kuda 😀

Dalam waktu 5 menit dua ekor kuda perkasa itu telah memindahkan kami dari dataran rendah ke dataran tinggi. Tapi ternyata kami belum benar-benar tiba di Istana Neuschwanstein. Kedua kaki ini terpaksa mengayunkan langkah selama lima menit agar seluruh raga benar-benar ada didepan pintu Neuschwanstein.

Sebelum tiba di pintu masuk, kami berhenti sejenak di sebuah tempat semacam tempat istirahat. Dari sini terlihat pemandangan dua buah danau dan pedesaan yang cukup bisa menyejukkan mata dan menghilangkan kekecewaan.

Ketika mata ini benar-benar melihat Istana Neuschwanstein tanpa batas, justru saya merasa biasa saja. Tidak takjub dan bahkan saya kecewa karena didepan sini masih terlihat renovasi bangunan yang belum juga selesai.

Menurut saya bangunannya biasa saja dan tak seindah istana-istana Eropa lainnya. Seketika muncul tanya kenapa begitu banyak orang yang datang kesini dan bahkan di musim panas pengunjung bisa mencapai 10.000 pengunjung per harinya.

Kami kembali melalui jalan menanjak agar benar-benar sampai di pintu masuk dan ketika kami sudah berada dihalaman dalam istana, kembali terlihat besi-besi tinggi mengurung sebagian bangunan yang menandakan sedang ada renovasi.

Areal ini sudah dipenuhi pengunjung, baik yang sudah memiliki tiket masuk maupun yang tak berniat masuk dan hanya sekedar foto-foto. Oh ya, tiket harus dibeli dibawah dan diatas sini tidak ada lagi penjualan tiket. Semua turis yang ingin masuk sudah ditetapkan jam masuknya untuk mengurangi pembludakan pengunjung.

Sambil menunggu besi penghalang terbuka, saya melipir sejenak ke ujung pagar pembatas. Banyak pula turis lain yang sibuk berfoto disana. Saya tersadar bahwa diseberang sana, di perbukitan lainnya ada sebuah air terjun yang suaranya terdengar jelas dari atas sini dan terlihat sebuah jembatan putih yang menghubungkan dua bukit yang dibawahnya mengalir air terjun.

Saya baru menyadari bahwa itu adalah Marienbrücke, jembatan yang terkenal itu. Darisanalah foto keseluruhan Istana Neuschwanstein bisa diambil. Saya baru tau ternyata Marienbrücke hanya bisa dilalui dengan bus ataupun berjalan kaki. Meskipun sudah banyak membaca, ternyata masih banyak yang belum saya ketahui tentang seluk beluk Neuschwanstein. Karena rata-rata artikel yang saya baca tidak ada yang membahas bahwa jalur kereta kuda dan jalur bus itu berbeda. Jalur bus letaknya lebih jauh.

Akhirnya besi penghalang terbuka ketika rombongan turis yang lebih dulu masuk sudah mulai keluar dari dalam gedung utama. Saya yang sedari tadi berdiri diposisi pertama dan tepat didepan besi penghalang langsung melangkahkan kaki begitu mesin scanner tiket kembali berfungsi. Saya tidak ingin berada di bagian belakang dan tidak ingin melewatkan secuilpun informasi dari pemandu.

Pengunjung dilarang mengambil gambar dan video selama berada didalam. Setiap orang diberikan satu alat mirip telepon genggam untuk mendengarkan penjelasan tentang isi istana yang terdiri dari Bahasa Inggris dan Jerman.

Seorang laki-laki muda menjadi pemandu kami. Begitu memasuki lorong pertama setelah sebelumnya kami harus menaiki puluhan anak tangga, saya berbisik ke Mr. Ottoman, „Mirip arsitektur Osmani ya!“

Diapun mengiyakan pendapat saya dan tak lama setelah itu pemandu meminta kami untuk mendengarkan penjelasan dari audio visual. Benar saja, istana ini bukanlah istana abad pertengahan dan tidak memiliki catatan sejarah penting yang berhubungan dengan peradaban Eropa.

Arsitekturnya sendiri memang menyontek arsitektur dari berbagai belahan dunia. Didalamnya ada kursi-kursi tua dan berbagai peralatan masa lampau. Dibagian lainnya kembali istana ini mengadopsi arsitektur osmani dengan kubah melengkung ditengahnya persis bangunan Hagia Sophia dan berbagai ukiran di dinding-dindingnya yang juga lumrah ditemukan pada bangunan-bangunan Turki Osmani.

Ruangan tempat tidur raja yang dominan berwarna biru muda dan berbahan dasar kayu yang diukir indah mengambil arsitektur dari zaman Byzantium yang juga leluhurnya negara Republik Turki kini. Saya berkesimpulan bahwa Raja Ludwig II menggemari arsitektur Turki.

Selebihnya kami hanya diperlihatkan gorden, meja kursi dan patung angsa yang menjadi ciri khas daerah ini. Pun didalam sini masih juga ada renovasi.

Tidak ada foto-foto keluarga raja ataupun gambar-gambar yang menceritakan tentang sejarah dan peristiwa yang terjadi disini seperti istana-istana pada umumnya. Wajar saja memang karena Raja Ludwig meninggal dunia saat istana ini belum benar-benar selesai dan dia tidak sempat menempatinya.

Selesai menjelajahi istana kami dihadapkan pada toko souvenir. Tak berniat membeli apapun, kami hanya sekedar melihat-lihat dan berlalu. Diujung areal ini ada tempat terbuka semacam balkon. Dari sini pemandangan cukup indah. Gunung-gunung, danau-danau dan dari sisi lainnya kembali terlihat Marienbrücke. Susah sekali mengambil foto disini. Selain tempatnya sempit, juga banyak orang yang tak mau kalah untuk mendapatkan view paling indah.

Setelah itu kami masuk ke ruang teater dimana disini diputar film tentang Istana Neuschwanstein sejak pembangunannya hingga kini. Film diputar setiap 15 menit sekali.

Oh ya, sebelum keluar, ada lorong lain yang juga mempersembahkan pemandangan indah seperti pemandangan dari balkon tadi.

Turis yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya padat merayap memenuhi halaman samping istana. Semuanya sibuk berfoto. Jangan harap bisa berfoto sendirian tanpa ada fotobomb. Akan sangat sulit mendapatkannya. Melihat semakin banyaknya pengunjung, saya semakin heran, kenapa istana ini bisa seterkenal itu.

Kaki sudah minta istirahat. Sejenak kami duduk didepan istana. Pandangan saya mengarah ke sisi lain istana. Ternyata itu adalah pintu masuk turis yang menggunakan bus dan menuju ke Marienbrücke. Sayangnya jalannya ditutup karena perbaikan.

Sedikit turun kebawah, terlihat jalan setapak diantara pepohonan gundul yang daunnya sudah diterbangkan musim gugur. Didepannya tertulis larangan melewati areal tersebut dan dirantai. Tetapi ada saja orang-orang yang nekat dan dari jauh saya melihat ada beberapa orang berdiri di Marienbrücke dan bisa saya pastikan mereka bukanlah pekerja renovasi.

Sempat saya merengek mengajak Mr. Ottoman memasuki jalan itu menuju Marienbrücke. Namun ditolak mentah-mentah. Mr. Ottoman memang orang yang taat peraturan. Dia khawatir kalau-kalau jalan tersebut ternyata berbahaya. Itulah sebabnya ditutup untuk turis.

Sebenarnya masih ada alternative lain menuju Marienbrücke yaitu melewati jalan yang dilalui bus dengan berjalan kaki. Jadi, kami harus turun bukit, lalu naik lagi ke bukit lain yang lebih tinggi dan jauh.

Gila! Membayangkannya saja saya sudah ngos-ngosan. Ah…sudahlah! Lupakan soal hasrat untuk menyentuh Marienbrücke. Kami menuruni bukit dengan berjalan kaki karena tidak sesulit saat menaikinya. Kalau mau menggunakan kereta kuda harganya lebih murah, 3 euro saja.

Sampai dibawah kami masih ragu untuk mengambil keputusan antara pulang ke hotel atau lanjut menikmati alam Desa Schwangau yang masih segar dan terang. Selain itu, kedua kaki yang paling bertanggungjawab untuk membawa diri terus bergerak juga tampaknya sudah kehilangan energi.

Dipikir-pikir lagi kok sepertinya tanggung kalau tidak naik ke bukit lain dan melihat Istana Hohenschwangau miliknya ayah Raja Ludwig II. Dengan kaki yang sedikit memberontak perlahan kami menaiki bukit menuju Istana Hohenschwangau.

Belum sampai ke puncak, kami berhenti dan duduk sejenak karena saya hampir kehabisan tenaga. Tidak lama sebenarnya untuk sampai istana ini karena bukitnya tidak terlalu tinggi.

Istana ini terlihat jauh lebih sepi dibandingkan Istana Neuschwanstein. Hanya ada sekitar lima orang turis disana. Kami hanya duduk-duduk diluarnya sambil memandangi arsitekturnya dari luar. Kami sama-sama setuju kalau arsitektur istana ini jauh lebih indah dibandingkan Neuschwanstein, meskipun bangunannya lebih kecil.

Tak lama kami berada disana karena sang raja siang sudah memberikan aba-aba untuk bergeser ke belahan bumi lain. Kami berjalan keluar melalui jalan yang berbeda. Ah…saya lebih takjub dengan istana ini. Terlihat di gerbangnya alat seperti bel zaman dulu yang harus ditarik menggunakan rantai untuk membunyikannya.

Di jalanan hutan yang hanya dikelilingi pohon tak berdaun itu, cuma kami berdua yang melaluinya. Kami memang selalu kompak soal ini. Pikiran kami kembali ke masa silam. Kami membayangkan dan mencoba merasakan atmosfir kehidupan di zaman istana ini masih aktif digunakan.

Tentunya kala itu hanya ada kuda yang lalu lalang. Kamipun sempat tertawa sedikit keras saat membayangkan Raja Ludwig II yang menghuni Neuschwanstein dipanggil untuk makan malam oleh ayahnya dari Istana Hohenschwangau.

Dipenghujung jalan tampak foto-foto orang penting kerajaan dijajarkan seperti poster. Dari sisi lainnya tertulis bahwa dari hutan ini bisa langsung ke Austria dengan berjalan kaki selama satu jam.

Tepat dibawah bukit ini dan berhadapan dengan Bayerische Museum, terhampar Danau Alpsee yang airnya berwarna tosca. Gosip yang beredar, Raja Ludwig II meninggal karena tenggelam di danau ini. Kami berhenti beberapa saat disini. Lagi-lagi kami memiliki kesamaan. Kami sama-sama menyukai alam dan kesunyian.

Dibawah sana ada sebuah rumah kayu tua yang tampaknya sudah tidak terurus. Mr. Ottoman nyeletuk ingin menginap disana dan menyewa tempat itu. Seketika saya langsung tidak setuju. Pikiran saya langsung horror dan membayangkan rumah itu dihuni banyak makhluk halus yang jika hari sudah gelap akan mengganggu manusia 😀 (Terlalu kelewatan imajinasi saya kali ini)

Usai sudah petualangan hari ini dan rasa penasaran saya soal Istana Neuschwanstein sudah terbayarkan. Benar memang bahwa ketenaran mampu mengalahkan segalanya. Buktinya banyak istana di Jerman yang jauh lebih indah dari istana ini, tetapi tidak banyak dikunjungi turis. Sampai-sampai Walt Disney terinspirasi untuk membuat logo perusahaan filmnya dari istana ini.

 

    

0



Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog