MENIKAH DAHULU PACARAN KEMUDIAN


Tentu Jerman tak serta merta mampu menghapus sisa-sisa luka yang masih timbul tenggelam di lubuk hati terdalam saya. Sesekali sakit akibat pengkhianatan di masa lalu itu datang dan mengejek kekalahan saya. Iya, saya kalah mempertahankan cinta semu yang selama ini saya kira hanya untuk saya.

Ajakan Mr. Ottoman untuk secepatnya menikah tidak membuat otak saya yang dulu ketika mendengar kata menikah selalu protes dengan alasan mimpi dan cita-cita yang selalu menunggu untuk diwujudkan. Tidak boleh tidak. Mimpi untuk merasakan hidup di negeri empat musim, merasakan dinginnya salju dan menikmati sinar matahari hingga hampir tengah malam di musim panas tidak bisa dinegosiasikan.

Kekalahan itupun menjadi sebuah kemenangan. Mungkin jika saya dulu lebih memilih menikah dengan Mr. X, saya tidak tau bagaimana rasanya hidup di negeri non muslim dan menjadi minoritas dengan segala keterbatasan untuk beribadah. Saya yang tidak bisa membaca masa depan ini telah berprasangka buruk kepada Dzat yang telah menciptakan saya dan memberikan saya surprise yang luar biasa untuk hidup saya.

Enam bulan hidup di perantauan, di pertemuan ketiga saya dengan seorang lelaki asing yang sedang mencari istri, saya sah menyandang status istri seorang pria Turki yang sedang membangun karirnya di bidang IT.

Ini adalah pernikahan yang tidak normal. Iya, sebuah pernikahan yang akad nikahnya tidak dihadiri keluarga. Dan yang lebih anehnya lagi saya belum mengenal siapa suami saya sebenarnya. Tidak ada satu orangpun yang bisa saya tanyai tentang lelaki yang bersamanya akan saya lalui petualangan-petualangan hidup.

Percayalah! Jodoh itu soal kemantapan hati dan memang sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Disana nama saya tertulis berpasangan dengan Mr. Ottoman, bukan Mr. X. Dari awal perkenalan kami, Mr. Ottoman tidak pernah menjanjikan hidup mewah bak putri raja kepada saya, melainkan dia ingin meraih mimpi-mimpinya bersama-sama saya.

Sebulan setelah menyandang status Mr. Ottoman, saya pulang ke Indonesia tanpa Mr. Ottoman. Saya tidak pernah membayangkan bahwa kepulangan saya yang niatnya untuk menyelesaikan semua surat-surat resmi pernikahan kami justru adalah awal dari banyak hal sulit yang wajib saya hadapi.

Kembali saya menjalani hubungan jarak jauh. Kali ini lebih menyedihkan karena terpisahkan jarak yang jauh dari lelaki yang sejujurnya belum sepenuhnya saya cintai. Saya sendiri belum bisa mendeskripsikan perasaan saya kepada Mr. Ottoman. Begitu pula dengannya. Kami menikah bukan karena cinta dan sampai dititik ini mungkin kami belum saling mencintai. Pernikahan itu terjadi karena kami merasa satu visi dan misi untuk menjalani kehidupan kedepannya, terutamanya untuk mendapatkan ridho Allah. Kami percaya, seiring berjalannya waktu cinta diantara kami akan muncul, terus tumbuh menancapkan akar yang kuat. Bukankah orang-orang zaman dulu juga menikah tanpa pacaran, bahkan ada yang tidak tau sama sekali siapa orang yang mereka nikahi dan mereka hidup bahagia sampai ke anak cucu. Intinya, pernikahan itu tidak tergantung dengan seberapa lama kamu berpacaran dan sesungguhnya dalam islam sendiri tidak dikenal sistem pacaran yang sudah saya rasakan sendiri hanya menimbulkan kemudharatan.

Beberapa hari menjalani kembali hidup di negara tropis, sungguh saya merasakan banyak sekali perbedaan. Bukan hanya soal ketahanan tubuh, sikap Mr. Ottoman pun berubah. Kami mulai jarang berkomunikasi. Saat itu belum ada aplikasi canggih seperti Whatsapp, line dan sebagainya. Kami hanya mengandalkan facebook, skype dan langsung melalui panggilan seluler.

Bukan hanya dia, sayapun sesekali ragu tentang jati diri lelaki yang sudah saya nikahi. Tetapi ada satu titik keyakinan disudut ruang kecil hati saya yang mengatakan bahwa dia adalah jodoh saya, tidak perduli bagaimanapun lika-likunya.

Masalah selanjutnya setelah masalah surat-surat yang tak kunjung usai itupun bermunculan. Saya hamil. Keluarga inti saya cukup mengerti dengan kondisi ini, tetapi tidak dengan beberapa tetangga. Bahkan ada yang mengatakan saya hamil tanpa suami. Saya frustasi, tetapi keluarga selalu menguatkan saya. Saya memutuskan untuk tidak keluar rumah supaya tidak semakin gila menghadapi ini semua.

Tri semester kedua kehamilan saya, saya harus kesana kemari mengurus segala surat-surat. Kurang lebih dua bulan saya kos di Jakarta untuk mengurus legalisir di tiga kementrian dan di Kedutaan Jerman di Jakarta.

Kadang saya merasa bersalah pada diri saya sendiri. Tetapi lagi-lagi saya menguatkan batin saya bahwa tidak ada yang perlu disesali. Semua akan berakhir bahagia. Saya sangat kenal dengan diri saya sendiri. Saya memang suka mengambil keputusan yang tiba-tiba, tetapi saya sangat bertanggungjawab dengan apa yang sudah saya putuskan. Sedikitpun saya tidak pernah menceritakan segala kesedihan dan penderitaan saya pada manusia manapun. Saya tidak suka berbagi kesedihan dan saya tidak ingin dikasihani.

Satu tempat yang selalu saya kenang hingga kini adalah warung soto didekat Kedutaan Jerman. Beberapa kali saya makan siang disana dan juga solat zuhur di kamar pemiliknya. Mungkin pemiliknya sudah lupa dengan saya, tetapi saya masih ingat betul di kamar itu dengan perut yang semakin membuncit saya bersujud dan menangis memohon kesudahan untuk semua kelelahan ini.

Andai saya tidak ngotot minta pulang ke Indonesia, tentu semuanya tidak akan sesulit ini. Mr. Ottoman sebenarnya juga berat melepaskan saya saat itu. Waktu itu di Bandara Stuttgart dia mengantarkan saya dan sempat berkata “Bagaimana kalau tiket kamu saya sobek dan kamu tidak jadi pulang ke Indonesia?”. Saya hanya tersenyum dan menganggapnya lelucon belaka.

Hubungan macam apa ini? Pertanyaan itu yang selalu timbul saat kami bertengkar di udara. Kadang hanya karena masalah sepele. Jerman dan Indonesia memiliki beda waktu lima jam di musim panas dan enam jam di musim dingin. Mr. Ottoman juga harus bekerja dan membuat komunikasi kami kadang tidak lancar.

Di kehamilan yang sudah memasuki bulan ketujuh, untuk kesekian kalinya saya mendapatkan kabar yang memutuskan asa saya untuk secepatnya bertemu dengan belahan jiwa saya yang berada di belahan bumi lain. Visa saya ditolak. Lemas, marah, kecewa, sedih dan frustasi semuanya berbaur dalam diri ini. Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana dengan nasib anak saya kelak jika saya melahirkan di Indonesia?

Saya ingin terbang ke Turki dan melahirkan disana, di rumah mertua saya. Tapi Mr. Ottoman menolak. Menurutnya akan sulit bagi saya beradaptasi dengan ibunya yang masih kolot dan susah menerima budaya baru.

Bukan menyerah, tetapi saya ikhlas. Saya yakin ini semua adalah yang terbaik untuk kami semua. Didepan sana sudah banyak kebahagiaan yang menanti kami. Saya kembali ke rumah orangtua saya. Mr. Ottoman berjanji akan datang di hari persalinan saya.

Saya bahagia menjalani hari-hari bersama seorang makhluk mungil yang diprediksi dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Aktivitasnya didalam perut saya menghilangkan segala lelah dan sedih yang sudah saya lalui. Setiap malam saya dengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an padanya dan lama kelamaan dia tidak mau tidur jika belum didengarkan ayat Al-Qur’an. Tak lupa pula saya ceritakan sosok ayahnya.

Alhamdulillah saya dikelilingi sanak keluarga yang baik yang terus mendukung saya. Saya tau mereka juga terluka melihat keadaan ini dan mendengar omongan tetangga. Ini adalah masa-masa tersulit dalam hidup saya. Patah hati saat dikhianati mantan pacar yang diam-diam menikah dengan wanita lain itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kondisi saat ini.

Kepedihan masih terus singgah di kehidupan saya. Anak kami meninggal di usianya yang kedua hari. Luka semakin menggerogoti tubuh ini. Luka yang tak mengeluarkan darah, namun teramat pedih.

Saya memutuskan meninggalkan rumah orangtua saya dan pergi ke Jakarta. Saya tidak bisa langsung mengajukan permohonan visa karena saat itu peraturannya mengharuskan saya untuk menunggu selama enam bulan.

Dari Jakarta saya ke Bali bekerja sebagai tourguide. Tidak lama di Bali saya kembali ke Jakarta. Saya mengajar Bahasa Jerman di sebuah tempat kursus bahasa asing di Jakarta Utara sambil tetap menjadi tourguide.

Luka mulai mengering. Setelah sebelumnya saya sempat beberapa kali ingin bercerai karena, akhirnya hubungan saya dan Mr. Ottoman jauh lebih baik. Di masa ini sudah ada whatsapp. Setiap hari kami video call layaknya orang pacaran jarak jauh.

Sebelumnya saya sempat ingin bercerai karena merasa lelah dengan jarak. Selain itu, ada pengaruh pihak-pihak lain yang mempengaruhi Mr. Ottoman yang membuat dia pernah acuh terhadap saya. Setiap kali saya minta cerai, Mr. Ottoman selalu mengatakan bahwa dia ingin menjalani hidupnya bersama saya. Tapi sebenarnya ibunya setuju kami bercerai dan bahkan mengatakan kalau Mr. Ottoman tidak wajib memberikan nafkah materi kepada saya karena jauh. Alhamdulillah suami saya tetap memberikan nafkah materi kepada saya.

Berbeda dengan mama mertua yang mendukung perceraian kami, mamak saya justru selalu memberikan support agar pernikahan ini tetap berlanjut dan akhirnya doa mamak saya yang menang dan keinginan mamer agar kami bercerai tidak terkabul.

Pertemuan yang sudah sering kami rencanakan tapi selalu tidak terwujud itupun akhirnya datang juga. Kami memang pasangan yang tidak normal. Bulan madu ke Bali setelah setahun menikah dan punya anak.

Malam itu saya menjemputnya di Bandara Soekarno Hatta. Saya tidak bisa mendeskripsikan perasaan saya saat menunggu sosoknya keluar dari pintu kedatangan. Waktu yang dijadwalkan sudah tiba. Di papan jadwal penerbangan juga sudah diinformasikan bahwa pesawat yang ia naiki sudah landing. Tapi laki-laki keturunan khalifah usmaniah itu tak juga muncul.

Saya coba hubungi dia dan tidak masuk. Saya kirim pesan juga belum dibaca. Akhirnya saya pasrah menunggu kabar darinya. Setengah jam saya menunggu sampai akhirnya saya mendapat kabar.

Mr. Ottoman sudah keluar dari pintu lain. Sayapun cepat-cepat berjalan setengah berlari kearah pintu tersebut. Perasaan saya saat itu jauh diatas bahagia. Seperti pasangan yang baru jatuh cinta dan jadian, saya berlari kearahnya dan memeluk tubuh kekarnya yang kelelahan setelah perjalanan panjang.

Sayapun tersipu malu setelah menyadari bahwa tingkah saya menjadi pusat perhatian orang-orang yang lalu lalang disana.

Duapuluhsatu hari untuk membayar setahun. Kami layaknya orang yang sedang berpacaran. Saya masih malu-malu dan grogi. Rasanya aneh sekali kencan dengan lelaki yang nyatanya sudah sah menjadi suami saya.

Setelah duapuluhsatu hari yang membahagiakan itu, hubungan kami semakin membaik. Jarang sekali kami bertengkar. Kami lebih fokus untuk urusan visa dan masa depan rumahtangga kami.

Bagaimanapun bahagianya hidup kita, masalah tidak akan pernah berhenti mengetuk hari-hari kita. Masalah adalah sahabat yang paling setia. Ia tidak bermuka dua. Saat pahit di kehidupan saya, terlihat jelas siapa sebenar-benarnya sahabat yang setia.

Tidak ada satupun dari sahabat yang dulu mengaku dekat yang mau membantu saya. Mereka menatap saya hina. Beberapa orang ada yang menghubungi saya via facebook, bukan untuk bertanya kabar, melainkan kepo dengan urusan rumahtangga saya dan iba dengan nasib saya yang mereka anggap menyedihkan.

Sungguh keluarga adalah sahabat sejati yang sebenarnya. Mereka pasti menutupi aib kita dan membuka tangan lebar-lebar menerima kita kembali saat kita pulang dengan setumpuk masalah. Sejak saat itu pula saya semakin menutup diri dengan yang namanya pertemanan, lebih tepatnya lebih hati-hati dalam memilih teman.

 

0



4 Comments

[…] MENIKAH DAHULU PACARAN KEMUDIAN (29) […]

Reply

Hidup memang perjuangan ya ka..sampai terharu dan nangis bacanya.
Yang pasti hanya Allah yg ga akan pernah meninggalkan kita.

Reply

yes dear 🙂

Reply

Terharu….

Reply
Schreiben Sie einen Kommentar

Your e-mail will not be published. All required Fields are marked

Scroll Up Scroll Up

Thank you for visiting my blog